Kredit Foto: Wafiyyah Amalyris K
Pemerintah tengah menyusun draf revisi Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik. Namun, draf yang disampaikan dalam konsultasi publik menuai kritik karena dinilai justru memperluas pengecualian pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) dan berpotensi menghambat percepatan transisi energi menuju sumber terbarukan.
Policy Strategist CERAH, Naomi Devi Larasati, menilai perubahan dalam rancangan beleid tersebut berpotensi membuka ruang baru bagi pembangunan PLTU dengan alasan menjaga keandalan sistem dan kemandirian energi.
“Alih-alih mempercepat transisi menuju energi terbarukan, sejumlah perubahan dalam rancangan beleid ini justru membuka peluang lebih lebar pembangunan PLTU. Mengacu dokumen konsultasi publik, Pasal 3 Perpres 112/2022 akan diubah demi menambahkan pengecualian pembangunan PLTU baru dengan dalih untuk menjaga keandalan sistem dan kemandirian energi,” ujar Naomi dalam keterangan tertulis yang diterima, Rabu (12/11/2025).
Baca Juga: TBS Energi Utama (TOBA) Siapkan Investasi Hijau Besar-besaran Pasca Divestasi PLTU
Perpres 112/2022 yang masih berlaku saat ini sebenarnya telah memberikan pengecualian pembangunan PLTU untuk proyek yang tercantum dalam Rencana Umum Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL), PLTU yang terintegrasi dengan industri bernilai tambah sumber daya alam, atau termasuk dalam Proyek Strategis Nasional (PSN).
“Perubahan ini kontradiktif dengan komitmen Presiden Prabowo Subianto yang ingin mencapai 100% energi terbarukan pada 2035. Adanya pengecualian, meskipun disertai syarat komitmen penurunan emisi, akan tetap menambah kapasitas PLTU sehingga struktur energi nasional masih bertumpu pada batu bara. Bagaimana transisi bisa berjalan jika sumber energi yang seharusnya dikurangi justru terus diberi ruang?,” ujarnya.
Dalam draf revisi tersebut, syarat pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) ditetapkan minimal 35% dalam 10 tahun. Namun, menurut Naomi, teknologi yang dicantumkan dalam rancangan revisi justru mengarah pada solusi semu, seperti pembangkit listrik tenaga (PLT) hibrida yang mengombinasikan energi fosil dan energi terbarukan, co-firing biomassa, carbon offset, dan bauran energi terbarukan.
Baca Juga: Persoalan Polusi Udara Kian Kompleks, PLTU Kerap Jadi Kambing Hitam
Naomi melanjutkan, dalam rancangan revisi, pengecualian pembangunan PLTU baru juga disyaratkan untuk mendukung target Net Zero Emission (NZE) 2060 sesuai Kebijakan Energi Nasional (KEN). Namun, Naomi menilai aturan tersebut masih lemah.
“Klausul ini tidak disertai peta jalan teknis kapan PLTU tersebut harus turun produksi atau pensiun, tidak ada target penurunan emisi bertahap, dan tidak ada instrumen pengawasan serta sanksi yang jelas jika target tidak tercapai,” ujar Naomi.
Policy & Program Manager CERAH, Wicaksono Gitawan, menilai PLT Hibrida menjadi celah dalam revisi tersebut.
“PLT Hibrida merupakan celah yang sengaja dimasukkan sebagai loophole revisi Perpres ini. Jika melihat ke RUPTL 2025–2034, ada beberapa PLTU Hibrida yang sudah direncanakan, seperti PLTU Mulut Tambang Kalselteng-3. Karena on-grid, penambahan PLT Hibrida ini pasti memperlambat masuknya pembangkit energi terbarukan,” jelas Wicaksono.
Ia menambahkan, perluasan pengecualian pembangunan PLTU baru berisiko menekan pertumbuhan energi terbarukan. Berdasarkan pengalaman kebijakan sebelumnya, Program 35 Ribu MW yang diluncurkan pada 2015 menyebabkan kelebihan pasokan listrik di jaringan Jawa–Bali dan mengunci sistem kelistrikan nasional pada infrastruktur batu bara.
Baca Juga: Eddy Soeparno Siap Bicara di COP 30, Tegaskan Komitmen Indonesia Akselerasi Transisi Energi
Menurut Wicaksono, revisi Perpres 112/2022 menambah daftar kebijakan energi nasional yang tidak sejalan dengan visi 100% energi terbarukan Presiden Prabowo, termasuk KEN, Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN), dan RUPTL 2025–2034. Ia juga menyoroti rancangan investasi Just Energy Transition Partnership (JETP) yang kini masih dikonsultasikan publik karena mengubah strategi pensiun dini PLTU menjadi repurposing atau pengurangan emisi.
“Presiden Prabowo perlu mengkaji ulang kebijakan energi yang disusun oleh kabinetnya, agar komitmen yang disampaikannya di forum internasional tidak menjadi sekadar janji. Dorongan nyata untuk meningkatkan bauran energi terbarukan harus diwujudkan dengan kebijakan yang mendukung. Jika terealisasi, Presiden Prabowo bisa membuat gebrakan dengan menjadikan Indonesia pemimpin transisi energi dunia,” tegas Wicaksono.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Djati Waluyo
Editor: Djati Waluyo
Tag Terkait:
Advertisement