Internet menawarkan kemudahan dan kepraktisan dalam segala aspek kehidupan. Namun ternyata tinggi risiko akan sisi negatifnya, seperti pencurian data, penipuan, konten negatif pornografi, hingga terjadinya cyberbullying atau perundungan di dunia maya.
"Sumber dari Digital Civility Indeks (DCI) 2021 menyebutkan 45 persen dari 2.777 responden mengaku pernah mengalami cyberbullying. Sedangkan 88 persen dari 2.251 responden mengaku tidak pernah menggunakn platform digital untuk melakukan cyberbullying," kata Digital Marketing, Diaz Yasin saat webinar Makin Cakap Digital 2022 untuk kelompok komunitas dan masyarakat di Kabupaten Trenggalek, Jawa Timur, pada Kamis (18/8/2022).
Baca Juga: Sopan Santun Berinternet Bagian dari Pemahaman Kebhinnekaan
Merespons perkembangan Teknologi Informasi Komputer (TIK), Kementerian Komunikasi dan Informatika RI bersama Gerakan Nasional Literasi Digital (GNLD) Siberkreasi melakukan kolaborasi dan mencanangkan program Indonesia Makin Cakap Digital. Program ini didasarkan pada empat pilar utama literasi digital yakni Kemampuan Digital, Etika Digital, Budaya Digital, dan Keamanan Digital. Melalui program ini, 50 juta masyarakat ditargetkan akan mendapat literasi digital pada tahun 2024.
Lebih lanjut, masih menurut DCI golongan usia yang paling banyak mengalami cyber bullying adalah milenial, sebanyak 54 persen. Lainnya yaitu gen X 39 persen, gen Z 47 persen, dan boomers 18 persen. Sosial media juga merupakan platform digital yang paling banyak terjadinya cyberbullying, yaitu 71 persen. Sisahnya melalui aplikasi percakapan 19 persen, game online 5 persen, YouTube 1 persen dan lainnya.
Cyberbullying sebagai perilaku kekerasan berulang yang ditujukkan untuk menakuti, membuat marah, atau mempermalukan seseorang yang jadi sasaran menggunakan media sosial atau platform digital sebagai sarana ini biasanya dilatarbelakangi banyak hal. Seperti awalnya iseng saja, karena tidak mendapatkan bimbingan, upaya balas dendam, rasa tidak percaya diri, hingga mengikuti tren.
Jenis cyberbullying pun beragam, ada flamming di mana pelaku melontarkan kata-kata kasar provokasi untuk memancing reaksi korban. Kemudian denigration dengan tujuan menghancurkan nama baik seseorang, harrasement melalui kata-kata menyinggung fisik maupun orientasi seksual korbannya. Serta doxing yang membagikan informasi personal dan cyberstalking mengintip memata-matai seseorang di dunia maya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Fajria Anindya Utami
Tag Terkait: