Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Arahkan Subsidi untuk Kalangan Tidak Mampu

Arahkan Subsidi untuk Kalangan Tidak Mampu Kredit Foto: Antara/Teguh Prihatna
Warta Ekonomi, Jakarta -

Skema subsidi energi yang tepat sasaran untuk golongan tidak masyarakat mampu mendesak untuk diterapkan. Jika tidak, beban subsidi yang ditanggung pemerintah akan terus membengkak dan membebani keuangan negara.

Fakta tidak tepatnya sasaran subsidi energi khususnya bahan bakar minyak (BBM) disampaikan oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pekan lalu. Subsidi solar yang beredar di pasar 89%-nya dinikmati oleh dunia usaha.

Adapun untuk jenis BBM penugasan jenis Pertalite subsidinya dinikmati oleh 86% kalangan mampu. Besarnya konsumsi BBM bersubsidi oleh kalangan mampu disebabkan mekanisme subsidi saat ini bersifat terbuka dan diberikan ke produk energi.

"Artinya, siapapun bisa mengakses BBM bersubsidi tersebut jika tanpa pembatasan,” ujar Josua Pardede, Chief Economist Bank Permata, Senin (29/8/2022).

Akibatnya, lanjut Josua, kuota BBM bersubsidi terus tersedot dan berimplikasi pada bertambahnya anggaran subsidi dari pemerintah. Kondisi tersebut bertambah parah di tengah kenaikan harga minyak dunia yang masih bertahan di atas USD90 per barel, jauh di atas asumsi makro pada APBN 2022 sebesar USD63 per barel.

Melihat kondisi tersebut, Josua menyarankan pemerintah untuk beralih ke penetapan nilai subsidi tetap, sehingga harga pasar dari BBM dapat berfluktuasi menurut pergerakan harga minyak dunia. Dengan jumlah subsidi yang dipatok tetap, maka anggaran subsidi pada APBN tidak berfluktuasi.

Akan tetapi, kebijakan ini perlu diperkuat dengan fleksibilitas anggaran untuk perlindungan sosial.  Tujuannya untuk meningkatkan anggaran perlindungan sosial sejalan dengan kenaikan harga minyak dunia.

"Dengan kebijakan ini, kami menilai alokasi anggaran akan lebih tepat sasaran ke masyarakat paling rentan yang terdaftar sebagai penerima perlindungan/bantuan sosial,” kata Josua.

Menurut Josua, dengan pola subsidi selama ini, di mana seluruh masyarakat menikmati subsidi BBM cukup besar, perlu dilakukan penyesuaian harga secara bertahap agar gejolak sosial yang ditimbulkan dapat tertangani dengan baik.

"Sebagai langkah awal, pemerintah dapat menaikkan harga BBM (pertalite) ke level Rp10.000 per liter untuk mengurangi beban anggaran negara saat ini dan kuota BBM bersubsidi tahun mencukupi,” katanya.

Selanjutnya, kata dia, pemerintah perlu terus memperkuat data penerima yang berhak mendapatkan BBM bersubsidi melalui digitalisasi.

Ke depan, dengan posisi data penerima yang berhak sudah lengkap, pemerintah dapat secara perlahan menaikkan harga minyak ke harga pasar, atau memberikan subsidi namun dengan jumlah yang tetap sehingga kesehatan anggaran dapat terjaga.

Sekadar informasi, beban subsidi dan kompensasi BBM pada tahun ini mengalami peningkatan dari semula Rp152 triliun yang dialokasikan pada APBN 2022 menjadi Rp502 triliun.

Bahkan, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati saat konferensi pers pekan lalu menyebutkan bahwa angka subsudi tersebut bisa saja terus membengkat apabila tidak ada upaya pembatasan konsumsi BBM bersubsidi.

“Pada RAPBN 2023, kami menduga, pemerintah masih melihat harga BBM bersubsidi masih akan dijual di bawah harga keekonomiannya sehingga membutuhkan dana yang masih cukup besar,” kata Josua. 

Halaman:

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Ferry Hidayat

Bagikan Artikel: