Rokok Elektrik sebagai Salah Satu Solusi Turunkan Angka Prevalensi Perokok
Pemerintah tengah berupaya menurunkan angka prevalensi merokok, salah satunya melalui Peraturan Pemerintah nomor 109 tahun 2012 (PP 109/2012) yang tengah dalam proses revisi.
Draf revisi tersebut mengusulkan rokok elektronik diatur dengan produk tembakau lain.
Hal ini didasari argumen tentang rokok elektronik yang dinilai sebagai pintu masuk atau perantara, terutama remaja, untuk menggunakan rokok konvensional bahkan penggunaan obat-obatan terlarang.
Padahal, penelitian di dalam dan luar negeri sudah membuktikan bahwa rokok elektronik, baik padat maupun cair, berpotensi untuk membantu upaya berhenti merokok.
Hal ini dibarengi dengan komitmen asosiasi dan pelaku industri rokok elektronik untuk selalu mencegah pengguna di bawah umur.
Dengan regulasi yang tepat, potensi ini dapat dioptimalkan, sehingga rokok elektronik akan berkontribusi pada tujuan negara untuk menurunkan angka prevalensi perokok.
Inggris menjadi salah satu negara yang sukses menurunkan jumlah perokok aktif. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Public Health England pada 2019, 52,8 persen pengguna rokok elektronik cair (vape) menggunakan vape sebagai alternatif untuk berhenti merokok.
Hasilnya, sekitar 50.000 hingga 70.000 perokok Inggris berhenti merokok setiap tahun karena beralih ke vape.
Pada 2021, Public Health England kembali merilis laporan yang menjelaskan bahwa angka berhenti merokok terbesar, justru diperoleh dengan penggunaan vape dengan tingkat keberhasilan mencapai 49–78 persen, dibandingkan metode lainnya.
Di dalam negeri, Pusat Unggulan Iptek Inovasi Pelayanan Kefarmasian (PUIIPK) Universitas Padjadjaran telah melakukan tinjauan literatur dengan menganalisis sebanyak 1.955 referensi dan 44 studi untuk memperoleh kesimpulan. Studi melihat bahwa pendekatan harm reduction atau pengurangan dampak buruk dapat diterapkan untuk mengatasi angka prevalensi perokok dewasa di Indonesia yang mencapai 33,8 persen, seperti pada data Riset Kesehatan Dasar 2018.
"Produk-produk tembakau alternatif pada dasarnya tetap memiliki risiko. Hanya saja, risiko efek kesehatan yang merugikan dalam produk tembakau alternatif lebih kecil,' ujar Ketua Peneliti PUIIPK Universitas Padjadjaran, Auliya Suwantika, Selasa (30/8).
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat
Tag Terkait: