Dunia digital dan nyata sudah tidak terpisahkan. Sekarang ini semua yang dilakukan di dunia nyata berpindah ke ruang digital. Salah satunya adalah perilaku negatif seperti perundungan atau bully yang makin marak terjadi secara online.
Perundungan di dunia maya (cyberbullying) merupakan tindakan agresif seseorang atau sekelompok terhadap orang lain yang lebih lemah (secara fisik maupun mental) dengan menggunakan media digital. Perilaku negatif ini memunculkan rasa takut korban, bahkan dapat terjadi kekerasan fisik di dunia nyata.
Baca Juga: Ini Ciri Warganet yang Cakap Bermedia Digital
"Bully itu bukan bagian dari kebudayaan kita. Itu sudah jelas bertentangan dengan nilai Pancasila, terutama sila kedua. Mem-bully itu bagian dari tidak memanusiakan manusia," kata Dosen Ilmu Komunikasi dan Sekretaris PWI Jatim, Dr. Cand. Drs.Eko Pamuji, M.I.Kom saat webinar Makin Cakap Digital 2022 untuk kelompok masyarakat di wilayah Kota Mojokerto, Jawa Timur, pada Selasa (30/8/2022), dikutip dari siaran pers yang diterima di Jakarta.
Menurut survei UNICEF pada 2021, sebanyak 45 persen dari 2.777 anak muda usia 14-24 tahun pernah mengalami cyberbullying. Tercatat 30 persen korban meresponsnya dengan membiarkan kasus.
Korban cyberbullying akan selalu merasa depresi. Mereka juga memiliki masalah kepercayaan dengan orang lain karena tidak diterima oleh rekan-rekannya. Pada kasus esktrem, korban bahkan memilih untuk melakukan bunuh diri.
Eko mengatakan, cara terampuh mengatasi bully adalah diam. Yang dimaksud diam di sini bukan mengalah, tapi teknik agar orang yang mem-bully mereda dengan sendirinya. Tujuannya adalah agar mereka yang mem-bully diam juga sehingga tidak terjadi polemik.
"Kalau kita membalas dengan kalimat-kalimat, nanti justru terjadi saling balas. Akan lebih baik kalau saling berbalas pantun dibanding saling berbalas bully," kata Eko.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Puri Mei Setyaningrum