Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Terobosan MyPertamina Belum Tepat Sasaran, ORI: Nelayan Kecil hingga Petani Belum Terdata

Terobosan MyPertamina Belum Tepat Sasaran, ORI: Nelayan Kecil hingga Petani Belum Terdata Kredit Foto: Antara/Akbar Nugroho Gumay
Warta Ekonomi, Jakarta -

Anggota Ombudsman Republik Indonesia (ORI), Hery Susanto berpendapat bahwa MyPertamina sebagai satu terobosan dalam digitalisasi. Namun, pelaksanaan di lapangan masih belum tepat sasaran.

Berdasarkan proses asesmen yang dilakukan oleh ORI, pelaksanaan MyPertamina ini masih terbatas di sebagian kecil Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) di daerah-daerah besar. 

"Dalam catatan kami sebarannya sudah di 10 provinsi, dan belum semua kabupaten kota, dan jauh dari basis perekonomian rakyat di level bawah. Paling banyak ditemukan pendaftaran MyPertamina itu sopir, ojek dan lain-lain, nelayan kecil sekali, petani gimana akses mereka supaya bisa masuk MyPertamina, ini belum terserap dalam aplikasi tersebut," Ujar Hery dalam keterangan tertulis yang diterima, Kamis (1/9/2022). 

Baca Juga: BPH Migas: Pendataan Melalui MyPertamina Berpotensi Bikin Penyaluran Subsidi BBM Tepat Sasaran

Temuan ORI menyatakan adanya keterbatasan pengetahuan dari kelompok kecil tersebut untuk mendaftar melalui MyPertamina. Ini jadi satu alasan kalau sosialisasi harus dilakukan lebih masif lagi. 

"Artinya di sini aplikasi harus melindungi (sesuai dengan) persyaratan dalam Undang Undang Pelayanan Publik, pelayanan informasi, dan konsultasi ini belum masif dilakukan. Sehingga pemerintah terlalu menggemborkan upaya lewat MyPertamina di seluruh lapisan masyarakat, harus dievaluasi dan diperbaiki untuk serapan pembatasan," ujarnya. 

Sementara itu, peneliti senior Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI), Salamuddin Daeng mengatakan, sebetulnya ada tiga pijakan dasar untuk  pengaturan masalah subsidi energi BBM secara keseluruhan. Pertama, UU APBN.

Daeng mengatakan UU APBN hanya mengatur level yang terlalu makro, tidak spesifik. Misalnya indikator pada siapa yang berhak subsidi, yaitu masyarakat miskin, maka harus disasar langsung. Di negara lain seperti di Malaysia 40 persen penduduk kelas bawah. Sekitar 110 juta penduduk Indonesia berhak menerima subsidi.

“Tapi indikator harus jelas, di UU APBN samar yakni ada subsidi dan kompensasi. Ini yang menyamarkan. Kompensasi terjadi perdebatan antara Kementerian Keuangan dan operator yakni Pertamina,” ujarnya.

Kedua, Peraturan Presiden Nomor 191 Tahun 2014. Menurutnya, Perpres itu harus detail tidak boleh mengambang baik indikator dan siapa yang berhak menerima subsidi. Daeng menegaskan, jika melihat Perpres ini sulit sekali menerjemahkan dan mengawasi kendaraan yang lalu lalang, maka itu Perpres itu harus lebih detail. 

“Dalam Perpes ada sanksi yang tegas, tidak hanya pada masyarakat, termasuk lembaga yang melakukan pengawasan. Jangan masyarakat yang melanggar saja yang kena sanksi. Perlu dibuat aturan yang tegas dan rigit,” ungkapnya.

Ketiga, institusi pengawasnya. Kata Daeng, lembaga pengawas oleh BPH Migas yang mengawasi itu. Klausulnya bahwa BPH Migas harus langsung dengan Perpres tadi. Hak dan otoritasnya harus kuat. 

“Infrastruktur BPH Migas harus diatur sampai ke bawah infrastrukturnya. Berita media bisa tapi sejauh mana media punya kemampuan untuk menjangkau pelanggaran level bawah. Negara melalu BPH Migas yang bisa,” jelasnya. 

Kemudian, pengaturan masalah teknis sekali mengenai operatornya. Pertamina punya pembatasan. MyPertamina hanya alat untuk mendata. Mereka tidak bisa berbuat apa-apa bila terjadi pelanggaran. Kalau bisa presiden membuat satgasus untuk mengawasi ini. 

“MyPertamina punya data 1 juta, tetapi masih jauh sekali. Kalau targetnya 100 juta ya harus 100 juta yang masuk,” tutupnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Djati Waluyo
Editor: Rosmayanti

Bagikan Artikel: