Rencana Badan Pengawas Obat dan Makanan untuk merevisi Peraturan BPOM Nomor 31 Tahun 2018 tentang Label Pangan Olahan, khususnya pelabelan Biosphenol-A (BPA) pada air kemasan galon guna ulang polikarbonat masih mendapat perlawanan dari organisasi lobi industri produsen air minum dalam kemasan (AMDK).
Meski demikian, tidak semua alergi dengan regulasi BPOM untuk pelabelan AMDK galon BPA. Karena pelabelan galon BPA ini sebetulnya hampir sama dengan pelabelan pada bungkus rokok yang justru lebih menohok, karena ada foto korban kankernya.
Bahkan regulasi BPOM ini cenderung lebih moderat karena hanya berupa stiker bertuliskan: “Berpotensi Mengandung BPA”.
Dr. Nugraha Edhi Suyatma, dosen dan peneliti di Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan dan Seafast Center, Institut Pertanian Bogor (IPB) mengatakan bisa memahami regulasi BPOM.
Hal ini disampaikannya dalam webinar yang mengundang narasumber dari organisasi lobi AMDK, Asosiasi Perusahaan Air Kemasan Indonesia (ASPADIN), pakar teknologi pangan dan pakar kesehatan, yang diselenggarakan Tempo Media Grup di Jakarta (2/9).
“Sebenarnya wacana BPOM ini kan ingin membuat masyarakat Indonesia aman. Niat mulia ini patut kita hargai,” kata Nugraha.
Mengenai pasal revisi terkait regulasi BPOM, Nugraha mengatakan seharusnya semua pihak juga melihat pasal yang menyebutkan ada pengecualian, kalau nantinya tidak terdeteksi limit BPA pada galon polikarbonat yang diperiksa.
"Kalau nantinya memang tidak terdeteksi, karena deteksi limit pada kemasannya nanti hanya 0,01 mg.kg, maka seharusnya tidak perlu lagi mencantumkan label ‘Berpotensi Mengandung BPA’,” kata Nugraha.
Sebagaimana diketahui, rancangan regulasi pelabelan BPA pada AMDK galon guna ulang polikarbonat dilakukan pasca BPOM menyelenggarakan survei terhadap AMDK galon, baik di sarana produksi maupun peredaran. Survei lapangan dilakukan sepanjang 2021-2022.
Berdasar survei di lapangan itu, BPOM menemukan fakta bahwa 3,4 persen sampel di sarana peredaran tidak memenuhi syarat batas maksimal migrasi BPA, yakni 0,6 bpj (bagian per juta).
Selanjutnya, ditemukan fakta bahwa 46,97 persen sampel di sarana peredaran dan 30,91 persen sampel di sarana produksi sudah masuk kategori “mengkhawatirkan”, atau migrasi BPA-nya berada di kisaran 0,05 bpj sampai 0,6 bpj.
Tambahan lagi, juga ditemukan fakta ada 5 persen sampel di sarana produksi (galon baru) dan 8,67 persen di sarana peredaran yang sudah masuk kategori “berisiko terhadap kesehatan” sebab migrasi BPA-nya berada di atas 0,01 bpj.
Botol Bayi dan Kemasan Kaleng Juga Berbahaya
Tak kalah pentingnya, Nugraha juga menegaskan bahan kimia BPA saat ini hadir di mana-mana. BPA tidak hanya ditemukan dalam campuran plastik keras polikarbonat, tapi marak pula di dalam kemasan kaleng, botol bayi atau dot yang mestinya dilarang total peruntukannya pada bayi dan anak-anak.
“Berdasarkan riset, hampir 90 persen enamel pada makanan kaleng terbuat dari bahan kimia epoksi yang merupakan bahan baku dari campuran BPA dan epichlorohydrin,” kata Nugraha mengingatkan.
Pernyataannya tentang bahaya BPA di luar AMDK galon polikarbonat ini sejalan dengan peringatan yang pernah disampaikannya melalui media massa sebelumnya. “Risiko migrasi BPA yang paling tinggi juga ada pada makanan dan minuman kaleng,” katanya.
Anak-anak Harus Dilindungi dari Bahaya BPA
Secara terpisah, Ketua Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA) Arist Merdeka Sirait mengatakan perlunya ada jaminan galon guna ulang bebas dari senyawa BPA, demi melindungi bayi dan anak-anak.
“Kalau belum bisa memberikan label ’Free BPA’, setidaknya mesti ada larangan bagi bayi dan balita untuk tidak minum air mineral dari galon guna ulang,” kata Arist Merdeka Sirait (Selasa, 6/9).
Arist mengatakan, Komnas PA sejalan dengan BPOM yang terus berjuang untuk menyelamatkan janin, bayi dan anak-anak dari bahaya paparan BPA. Berdasarkan riset yang ada selama ini, BPA dipercaya bisa memicu gangguan pada otak dan perubahan perilaku pada anak.
“Komnas Perlindungan Anak akan terus mendukung BPOM supaya pihak industri tidak dominan menyebabkan kerusakan pada masa depan anak-anak,” katanya.
Arist menegaskan, para pelaku industri AMDK galon polikarbonat harus jujur dan harus mau memberikan jaminan keselamatan dan kesehatan produk mereka dengan pelabelan. “Apa sih masalahnya bagi industri sekadar memberikan informasi dan edukasi untuk membantu mayarakat?,” katanya.
Dunia Perketat BPA pada Kemasan Pangan
Sebagai lembaga yang berwenang menilai mutu, keamanan, dan kesehatan pangan, BPOM wajib menyampaikan informasi kepada masyarakat luas, agar terhindar dari bahaya paparan BPA pada AMDK galon guna ulang polikarbonat.
Selain melakukan survei lapangan sendiri, BPOM juga mempertimbangkan tren pengetatatan regulasi BPA di luar negeri. Sebagai contoh, Pada 2018, Uni Eropa menurunkan batas migrasi BPA yang semula 0,6 bpj menjadi 0,05 bpj.
Beberapa negara, seperti Perancis, Brazil, serta negara bagian Vermont dan Distrik Columbia di Amerika Serikat bahkan sudah melarang penggunaan BPA pada kemasan pangan, termasuk AMDK.
Negara bagian California di Amerika Serikat juga sudah mengatur pencantuman peringatan label bahaya BPA pada kemasan produk pangan olahan.
Dengan semua pertimbangan itu, BPOM lalu melakukan perubahan Perka BPOM No 31 tahun 2018 tentang label pangan olahan. Revisi Perka BPOM No 31 tahun 2018 terkait pelabelan BPA pada AMDK galon guna ulang ini adalah untuk melindungi kesehatan masyarakat.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat