Perlu Lebih Gencar, Sosialisasi Bahaya BPA Pada Galon Guna Ulang
Temuan BPA di dalam air kemasan galon polikarbonat di enam daerah harus direspons sangat serius. Perlu sosialisasi lebih gencar agar publik lebih cermat saat beli air mineral.
Regulasi pelabelan pada kemasan galon guna ulang berbahan plastik keras polikarbonat yang mengandung Bisphenol A (BPA) sudah tak bisa ditunda lagi. Dunia internasional sudah memperketat regulasi BPA pada kemasan plastik.
Indonesia tak boleh kalah melawan lobi industri, yang bersikeras mempertahankan bisnis air minum dalam kemasan (AMDK) galon BPA di atas kepentingan kesehatan jutaan konsumen.
“Sosialisasi bahaya BPA perlu terus dilakukan, bekerja sama dengan banyak pihak terkait,” kata Abdyadi Siregar, Kepala Ombudsman RI Perwakilan Sumatera Utara, di sela forum pertemuan antara BPOM, praktisi kesehatan, instansi pemerintah, pengusaha AMDK, dan elemen masyarakat, di Kota Medan, Sumatera Utara (12/9), bertema ”Upaya Perlindungan Kesehatan Masyarakat Melalui Regulasi Pelabelan Bisphenol A (BPA) pada Air Minum dalam Kemasan (AMDK)”.
Sosialisasi bisa dilakukan dengan banyak cara, “Termasuk pencantuman label pada kemasan (galon guna ulang),” katanya. Tegas dikatakannya, industri yang menolak pencantuman label pada kemasan galon guna ulang wajib dijatuhi sanksi.
"Pemerintah daerah bisa meninjau izin usaha industri yang membandel, termasuk menutup usahanya,” katanya.
Temuan lapangan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sepanjang 2021-2022 cukup mengejutkan.
Temuan BPOM di enam kota, yakni, Medan, Bandung, Jakarta, Manado, Banda Aceh, dan Aceh Tenggara, melaporkan bahwa kandungan BPA dalam AMDK galon guna ulang di enam daerah tersebut ada yang sudah melebihi ambang batas yang ditentukan, yakni 0,6 bagian per sejuta (ppm) per liter.
Dari hasil temuan di Medan, ditemukan bahwa kandungan BPA dalam air di galon bisa mencapai 0,9 ppm per liter.
Seperti biasa, lobi pengusaha yang diwakili Asosiasi Perusahaan Air Kemasan Indonesia (Aspadin) adalah yang paling lantang menolak regulasi BPOM untuk pelabelan galon guna ulang.
Regulasi pelabelan ini mirip dengan label ilustrasi penderita kanker tenggorokan dan kanker paru pada bungkus rokok. Bedanya, regulasi BPOM jauh lebih moderat, yakni hanya teks bertuliskan "Berpotensi Mengandung BPA”.
Patut disayangkan, pendekatan moderat sebagai bagian dari edukasi dan informasi ke publik ini, sejak awal disuarakan sudah mendapat perlawanan keras tanpa henti dari Aspadin. Segelintir akademisi juga turut mengekor di belakangnya dengan klaim: BPA aman saja dikonsumsi masyarakat dan tidak berbahaya untuk kesehatan.
Apakah para pengusaha besar AMDK yang bergabung dalam Aspadin lebih mengutamakan kepentingan bisnis galon guna ulang yang menguntungkan, dan mengabaikan kepentingan kesehatan jutaan masyarakat konsumennya?
Pertanyaan ini dijawab langsung oleh Ketua Umum Aspadin, Rachmat Hidayat, saat Workshop Jurnalis bertema “Zat-zat Kimia pada Pangan dan Kemasan: Pengawasan dan Perlindungan Pemerintah”, yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen, di Jakarta (17-18/9).
"Kami sepakat, bahwa kehidupan kami terancam dengan draf aturan (pelabelan) ini,” kata Rachmat Hidayat.
Meski menolak keras regulasi BPOM untuk pelabelan galon guna ulang, Rachmat berkilah tetap tidak ingin Aspadin dikesankan melawan BPOM.
"Jadi kami mohon kepada BPOM untuk tidak mengeluarkan aturan ini,” kata Rachmat yang juga dikenal sebagai salah satu direktur di perusahaan besar penguasa sekitar 60 persen pasar AMDK di Indonesia.
Agak ironis, Rachmat mengklaim, selama 40 tahun digunakan di Indonesia, AMDK galon guna ulang tidak menimbulkan masalah kesehatan. Tetapi di sisi lain, Aspadin sendiri sampai saat ini belum punya mekanisme atau standar batas pemakaian atau pencucian, hingga usia kedaluwarsa galon guna ulang.
“Saya jawab tidak ada, belum ada,” kata Rachmat mengenai standar perawatan dan masa pakai galon guna ulang. Aturannya pun belum ada, kata dia. “Kalau pemerintah punya inisiatif mengadakan peraturan soal ini, kami dengan senang hati akan ikut membantu pemerintah dalam membentuk peraturan tersebut,” tegasnya.
Padahal, kritik sudah sering disampaikan bagaimana migrasi BPA dengan mudah masuk ke dalam air dalam kemasan galon yang tidak dimonitor dan tidak dirawat dengan standar pemeliharaan tinggi.
Sejumlah penelitian mengungkap bahwa senyawa BPA berdampak terhadap kesehatan melalui mekanisme gangguan hormon, khususnya hormon estrogen.
BPA dikenal mudah luruh dan larut dalam air minum, karenanya paparan jangka panjang dapat memicu gangguan kesehatan serius pada manusia.
BPA pada gilirannya berpengaruh pada gangguan sistem reproduksi, baik pada pria maupun wanita, berdampak pada diabetes, obesitas, gangguan sistem kardiovaskular, gangguan ginjal, kanker, dan perkembangan kesehatan mental pada anak-anak.
Itu sebabnya, di beberapa negara maju, BPA sudah dilarang digunakan untuk perlengkapan makan dan minum pada bayi dan balita sejak 2011.
Saat ini, kemasan berbahan plastik polyethylene terephthalate (PET) lebih popular digunakan di seluruh dunia, karena dinilai lebih aman bagi kesehatan dan mudah didaur ulang agar ramah lingkungan.
Ironisnya di Indonesia, pengusaha penguasa pasar AMDK justru dengan senang hati terus menggunakan plastik PET untuk semua produk kemasan botol dan gelas kecil, tapi sebaliknya berkeras mempertahankan plastik BPA pada galon guna ulang mereka.
Dengan demikian, sulit dimungkiri, alasan bisnis dan dominasi pasar galon guna ulang tampak jelas lebih dikedepankan, ketimbang nasib jutaan konsumen di Indonesia yang kesehatannya dipertaruhkan karena asupan BPA dalam air minum selama bertahun-tahun.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat
Tag Terkait: