RUU PPSK Ubah Pengawasan Aset Kripto ke OJK dan BI, Makin Jelas atau Makin Rumit?
RUU Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (PPSK) sudah resmi masuk ke dalam daftar Prolegnas RUU DPR sehingga perlu mendapatkan masukan dari berbagai pihak. Sifat RUU PPSK sebagai Omnibus Law dimana berbagai revisi UU terdahulu dan pembentukan pasal baru dalam satu RUU, maka perlu dikaji secara mendalam. Salah satu yang mendapatkan perhatian luas dari pemangku kepentingan dan investor adalah pembahasan aset kripto yang dimasukkan pada RUU PPSK sebagai ITSK (Inovasi Teknologi Sektor Keuangan).
Direktur Eksekutif Celios (Center of Economic and Law Studies), Bhima Yudhistira mengatakan bahwa konsekuensi masuknya aset kripto sebagai bagian dari RUU PPSK artinya pengawasan dan regulasi aset kripto berada di bawah OJK dan BI, sementara selama ini aset kripto diatur oleh Bappebti (Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi).
"Kalau pengawasan diatur oleh OJK padahal aset kripto bukan didefinisikan sebagai cryptocurrency atau mata uang melainkan sebagai komoditi, maka akan terdapat dualisme pengawasan. Tentu ini membuat banyak pihak bertanya, bagaimana aset kripto didefinisikan ke depannya, apakah sebagai mata uang atau komoditi?” kata Bhima di Jakarta, Senin (10/10/2022). Baca Juga: Komite Basel Laporkan: Bank-Bank di Dunia Miliki Aset Kripto Senilai US$9,38 Miliar
Menurut Pasal 205, pihak yang menyelenggarakan ITSK wajib menyampaikan data dan informasi ke Bank Indonesia dan OJK sesuai dengan fungsi dan kewenangan masing-masing. Di Pasal 205 ayat 1, disebutkan Bank Indonesia dan OJK melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap penyelenggaraan ITSK sesuai dengan ruang lingkup kewenangannya.
Kewenangan BI dan OJK semakin diperkuat dalam Ayat 4 pasal tersebut, yang menyatakan ketentuan lebih lanjut mengenai pengaturan dan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sampai dengan ayat (3) Pasal 205 diatur dalam Peraturan OJK dan Peraturan Bank Indonesia sesuai dengan kewenangannya.
Konsekuensi dari pasal-pasal tersebut bertolak belakang dengan regulasi sebelumnya yang menjadikan Bappebti sebagai otoritas yang mengatur dan mengawasi aktivitas aset kripto di Indonesia.
“Dijadikannya BI dan OJK sebagai pihak yang menjadi otoritas atas aktivitas aset kripto juga menjadi pertanyaan mengingat selama ini, BI dan OJK tidak memiliki tugas, fungsi, ataupun infrastruktur untuk mengatur perdagangan komoditi yang selama ini berada dalam ranah otoritas Bappebti," jelas Bhima.
Di berbagai Negara yang sedang dijadikan sebagai tolok ukur pengaturan aset kripto, peran pengawasan aset kripto berada pada Bursa Berjangka Komoditi. Bhima menambahkan, sebagai contoh di Amerika Serikat, perdagangan aset kripto tunduk di bawah wewenang Commodity Futures Trading Commission (CFTC) yang mengatur perdagangan berjangka komoditi, dan bukan oleh Securities and Exchange Commission (SEC) yang mengatur perdagangan efek.
"Pada Agustus lalu, Senat Amerika Serikat telah mengeluarkan RUU yang dengan tegas mengklasifikasi aset kripto sebagai komoditi dalam naungan CFTC yang secara fungsi dan tanggung jawab serupa dengan Bappebti di Indonesia," jelasnya.
Meskipun pasar aset kripto sedang mengalami penurunan harga, namun jumlah investor aset kripto terus menembus 15,5 juta orang dari data terakhir. Nilai aset kripto juga menembus Rp 33,2 T per bulan hingga Juli 2022. Dari hasil riset yang dilakukan CELIOS pada September 2022 mengungkapkan posisi aset kripto berada di no.3 tertinggi dibandingkan jenis investasi lainnya seperti emas, dan surat utang pemerintah (SBN). Baca Juga: Senator AS Perkenalkan RUU untuk Lindungi Pertukaran Kripto di AS
“Dengan melihat pasar yang cukup besar, dan memerlukan infrastruktur yang mumpuni, sudah selayaknya Bappebti ikut dilibatkan aktif dalam pembahasan RUU PPSK terkait posisi aset kripto. Bappebti pun saat ini sedang melakukan pembenahan infrastruktur pasar aset kripto, sehingga diperlukan koordinasi dan harmonisasi regulasi dengan OJK maupun BI.” kata Bhima.
“Kalaupun aset kripto akan diatur dalam RUU PPSK kami menekankan pengawasan aset kripto sebagai komoditi berada di bawah otoritas yang memang mengatur dan mengawasi perdagangan komoditi, yakni Bappebti, dengan perbaikan-perbaikan sistem pengawasan seperti pencegahan terhadap kebocoran data, peningkatan literasi keuangan bagi investor, hingga kewenangan memberantas praktik penipuan berkedok investasi aset kripto," tutup Bhima.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Fajar Sulaiman
Editor: Fajar Sulaiman