Larangan Ekspor Hambat Pertumbuhan Ekonomi
Akademisi Universitas Al- Azhar Indonesia DR. Sadino, SH, MH, menegaskan, larangan ekspor akan menghambat pertumbuhan ekonomi, pemulihan krisis dan merugikan perekonomian negara khususnya devisa yang hilang akibat larangan ekspor.
“Hambatan dan larangan ekspor akan merugikan bangsa Indonesia. Menghambat pertumbuhan ekonomi, pemulihan krisis dan merugikan perekonomian negara yang diakibatkan dari hilangnya devisa,” tegas Sadino.
Selain itu, lanjut sadino, kebijakan DMO dan DPO yang berlaku pada produk CPO dan turunannya berpotensi merugikan petani kelapa sawit di tingkat bawah. Jika aturan DMO dan DPO terus berlanjut, dia khawatir petani/pengusaha kelapa sawit enggan menanam sawit dan berhenti produksi untuk sementara waktu.
"Mestinya disaat harga sedang tinggi, pemerintah mendorong ekspor sebesar-besarnya agak petani sejahtera. Bukan seperti sekarang, justru menghambat. Sebuah peluang yang jarang terjadi, malah tidak dimanfaatkan dengan baik,” tegasnya.
Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Institute (PASPI), Tungkot Sipayung menilai, kebijakan DMO dan DPO sering menimbulkan masalah, apalagi, gonta-ganti kebijakan. Hal ini bukan menyelesaikan masalah, tetapi justru menimbulkan berbagai persoalan,” kata Tungkot.
Hal yang sama disampaikan Dr. Eugenia Mardanugraha S,Si, M.E, Ketua Tim Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat FEB UI. Menurutnya, kebijakan-kebijakan pemerintah yang menjadi hambatan ekspor CPO perlu dihapuskan.
“Akibat kebijakan yang membatasi ekspor, seperti DMO dan DPO berakibat tangki pabrik kelapa sawit (PKS) mengalami over kapasitas dan PKS membatasi pembelian TBS dari petani,” kata Eugenia.
Eugenia menyebutkan bahwa upaya meningkatkan harga tandan buah segar (TBS) sawit petani membutuhkan dukungan peningkatan CPO dalam jumlah yang besar. Merujuk hasil kajian bahwa setiap peningkatan ekspor CPO 1 persen mampu mengerek harga TBS rerata 0,33 persen. Itu sebabnya, sangat dibutuhkan banyak volume ekspor untuk mengembalikan keekonomian harga TBS petani.
“Dibutuhkan peningkatan ekspor sebesar 1.740 persen atau 17 kali lipat supaya harga TBS petani dapat meningkat dari 861 rupiah per kilogram (asumsi harga petani swadaya per 9 Juli 2022) menjadi 2.250 rupiah per kilogram,” urai Eugenia.
Peningkatan ekspor tersebut sangat memungkinkan karena Indonesia pernah mencapai pertumbuhan ekspor CPO sebesar 211 persen. Walaupun dibutuhkan waktu tujuh tahun, yakni pada April 2014 ekspor CPO Indonesia mencapai 1,37 juta ton menjadi 4,27 juta ton pada Agustus 2021.
Akan tetapi, keinginan meningkatkan ekspor sawit terkendala biaya untuk melakukan ekspor CPO yang sangat tinggi sekarang ini.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat
Tag Terkait: