“Semakin tinggi harga CPO, semakin berat biaya yang harus ditanggung oleh eksportir CPO. Kenaikan harga CPO seharusnya memberikan insentif bagi pelaku usaha untuk memperbesar volume ekspor. Sehingga, DMO dan DPO perlu dihapuskan agar tak menghambat ekspor,” jelasnya.
Selain itu, kata dia, informasi terkait kebijakan DPO dan DMO di industri kelapa sawit ini cenderung tidak jelas.
"Saya kira problemnya adalah DMO ini untuk domestik sulit ditelusuri siapa yang akan dikenakan. Industri mana, petani sawit mana yang harus mendapatkan dengan harga DPO. Kami khawatir terakhirnya itu tidak jelas karena berlaku untuk semua. Bukan hanya untuk pasar domestik yang kena DPO tapi untuk seluruh harga karena itu ada miss atau asymmetric information sehingga seolah-olah berlaku untuk semua," jelasnya.
Kata Tungkot, DMO dan DPO mirip kebijakan jaman jahiliah, selain berisiko mekanisme ini juga sulit dijalankan. Namun yang menjadi persoalan, ketika harga CPO dunia naik signifikan sejak Januari 2022, pemerintah melalui Kementerian Perdagangan (Kemendag) justru mengunakan jurus ini.
"Pemerintah telah keluar jalur, seharusnya ketika harga internasional naik ya tinggal naikan saja PE -nya, sehingga tidak perlu menunggu sampai minyak goreng menghilang di dalam negeri. Dan kalau sudah stabil baru diturunkan pelan-pelan," katanya.
Selain itu, gonta-ganti kebijakan DMO dan DPO akan menimbulkan ketidak pastian berusaha karena berpijak diluar kebijakan yang sudah dibangun fondasinya.
"Benar dalam kebijakan yang lalu bisa menjadi salah di kebijakan berikutnya. Akibatnya, pengusaha menjadi korban dalam kebijakan tersebut. Kita melihat jika ada kasus hukum yang menyimpang, kita hormati proses hukumnya. Kedepan jangan sampai kebijakan yang buat justru membawa korban," tegasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat
Tag Terkait: