Indikator Muncul, Perang Timur-Barat akan Makin Mendidih, Pakar: Indonesia Harus Bersiap!
Oleh: Achmad Nur Hidayat, Pakar Kebijakan Publik
Perkembangan konflik Rusia versus Ukraina semakin meluas. Embargo yang dilakukan oleh Barat terhadap Moskow membuat banyak para pengusaha negara itu terkena dampak berupa sanksi terhadap kepemilikan aset yang berada di banyak negara.
Di tengah sanksi yang diberikan oleh PBB terhadap Rusia, sebuah superyacht/kapal pesiar senilai 521 juta dolar AS milik pengusaha Alexei Mordashov bebas keluar-masuk wilayah Hong Kong.
Baca Juga: Mengerikan, Anak Buah Putin Kuak Hubungan Amerika-Rusia yang Bisa Lebih Buruk Lagi
Hong Kong, yang berstatus hub finansial internasional, mendapat kritikan dari Barat atas tindakannya terhadap masuknya kapal pesiar Rusia tersebut.
Namun tak heran, Hong Kong, yang berada dalam yurisdiksi China --sekutu dari Rusia, tentunya posisi itu dapat dipahami jika Hong Kong membiarkan kapal pesiar milik oligarki Rusia ini keluar masuk Pelabuhan Hong Kong.
"Dalam hal ini tampaknya Barat akan semakin menekan China, setelah posisi Barat dalam mendukung Taiwan kemudian menginginkan Hong Kong untuk mengikuti kemauan Barat," kata Achmad Nur Hidayat, pakar kebijakan publik Narasi Institute, dalam keterangannya.
Tentunya, kata Achmad, hal-hal tersebut menjadi indikator bahwa ketegangan Timur dan Barat akan semakin memanas.
"Tentunya China tidak akan mau disetir oleh Barat dan akan merasa lebih terganggu oleh intervensi-intervensi Barat di wilayahnya," ujarnya.
Achmad menilai, dari berbagai ketegangan yang terjadi, menunjukkan bahwa konflik ini akan berlangsung lama yang tentunya akan semakin meluas menyeret berbagai negara untuk masuk ke dalam konflik.
"Negara-negara yang masuk ke dalam pusaran konflik tentunya akan terpengaruh stabilitas pertahanan dan perekonomiannya," imbuhnya, yang juga ekonomi dari Narasi Institute.
Untuk itu, Achmad menyarankan, Indonesia harus jauh lebih dini melakukan berbagai persiapan agar dampak-dampak dari konflik yang sedang terjadi tidak mengganggu stabilitas dalam negeri.
Meluasnya konflik Timur dan Barat tentunya akan memengaruhi kemampuan/daya beli dan daya produksi sebuah negara sehingga akan terjadi kemerosotan dalam hal ekspor dan impor.
"Indonesia harus melakukan persiapan-siapan yang mengarah kepada swasembada pangan dan energi. Bersiap untuk bisa bertahan jika seandainya ada kondisi Indonesia tidak bisa ekspor dan juga tidak bisa impor," tegasnya menyarankan.
Dan secara geopolitik, terang pakar kebijakan publik itu, Indonesia harus kembali kepada semangat Gerakan Non-Blok yang pernah diinisiasi pada tahun 1955 dalam Konferensi Asia Afrika di Jalan Asia Afrika Bandung.
Semua kemungkinan yang akan membuat bangs aini terseret-seret dalam konflik ini tentunya harus dapat dipersiapkan antisipasinya dari sekarang.
"Yang harus dipahami adalah dampak dari konflik ini lebih buruk dari resesi ekonomi yang sudah diprediksi akan terjadi pada tahun 2023 mendatang," pungkas Achmad.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Muhammad Syahrianto
Tag Terkait: