Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Lambannya Penyerahan DIM dan Sejumlah Masalah RUU EBT

Lambannya Penyerahan DIM dan Sejumlah Masalah RUU EBT Panel Surya Pembangkit tenaga Surya | Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Rencana Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk dapat menampilkan kesiapan Indonesia dalam mencapai bauran energi hijau pada perhelatan Presidensi G20 November nanti rasanya tidak akan terlaksana. 

Pasalnya Rancangan Undang-undang (RUU) Energi Baru Energi Terbarukan (EBT) yang tadinya diharapkan mampu disahkan sebelum perhelatan tersebut saat ini masih terganjal satu dan lain hal. 

Anggota Komisi VII DPR Dyah Roro Esti menyayangkan Surat Presiden (Surpres) terkait Rancangan Undang-undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET) tidak disertai dengan penyerahan Daftar Inventaris Masalah (DIM).

Baca Juga: Power Wheeling Jadi Batu Hambatan Pengesahan RUU EBT, Pengamat Respons Begini

Padahal, pihaknya berharap RUU tersebut sudah resmi menjadi Undang-Undang (UU) sebelum perhelatan G20 pada November mendatang.

“Surat Presiden (Surpres) terkait Rancangan Undang-undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBT) memang sudah diserahkan ke DPR, namun sayangnya tidak disertai dengan Daftar Inventaris Masalah (DIM)-nya. Ini merupakan hambatan tersendiri bagi kami untuk melanjutkan pembahasan terkait RUU tersebut,” ungkap Roro di Jakarta, kemarin (30/10/2022).

Ia berharap RUU tersebut dapat disahkan sebelum perhelatan G20, sehingga bisa disampaikan pada forum kerja sama multilateral yang terdiri dari 19 negara utama dan Uni Eropa (EU) itu, di mana salah satu gol utamanya adalah transisi energi.

Indonesia, khususnya DPR, memiliki keinginan kuat untuk mendorong melakukan transisi dari energi fosil ke energi yang lebih ramah lingkungan. 

Salah satunya lewat dukungan kebijakan berupa UU EBT. Dijelaskan politisi dari Fraksi Partai Golkar ini, energi fosil memang menimbulkan berbagai permasalahan atau dampak bagi lingkungan, terutama emisi karbon yang dihasilkan dari bahan bakar fosil.

Meski demikian, ia tidak memungkiri bahwa saat ini sekitar 80% industri bahan bakar di Indonesia masih mengandalkan energi fosil. Namun, dengan niat dan tekad yang kuat ia optimis bahwa perlahan Indonesia bisa mengurangi ketergantungan pada energi fosil.

Sehingga bisa seutuhnya terlepas dari fosil, baik secara ekonomi maupun secara kebutuhan energi. Bahkan belakangan Indonesia sudah mulai menjalankan ekonomi hijau. Ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat tanpa harus merusak lingkungan, alias ekonomi yang ramah lingkungan.

"Nah, kalau untuk target penyelesaian RUU EBET ini, kembali saya sampaikan, bahwa kami di DPR masih menunggu DIM dari pemerintah, agar bisa dilakukan pembahasan. Jika target penyelesaian RUU ini tidak tercapai pada November mendatang, jangan salahkan kami, jangan salahkan DPR," pungkas Roro.

Isu Power Wheeling

Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Ketenagalistrikan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Dadan Kusdiana mengatakan alasan pemerintah belum menyerahkan daftar inventaris masalah (DIM) Rancangan Undang-Undang (RUU) Energi Baru dan Terbarukan (EBT) ada di Power Wheeling. 

Sebagaimana diketahui, Power Wheeling merupakan mekanisme yang dapat memudahkan transfer energi listrik dari sumber energi terbarukan atau pembangkit swasta ke fasilitas operasi PLN secara langsung. Khususnya dengan memanfaatkan jaringan transmisi yang dimiliki dan dioperasikan oleh PLN.

"Power Wheeling, kan pemerintah punya usulan untuk memasukkan isu aspek Power Wheeling di RUU EBT, nah ini belum sepakatlah di pemerintah dari Kementerian Keuangan masih melihat mungkin itu ada sisi yang merugikan gitu," ujar Dadan saat ditemui di kawasan Kementerian ESDM, Jumat (21/10/2022). 

Dadan mengatakan, dengan sistem ketenagalistrikan di Indonesia, menurut Kementerian Keuangan (Kemenkeu), masih kelebihan pasokan dinilai tidak sejalan dengan penerapan RUU tersebut. 

"Kita melihat itu berbeda, bagi kita itu tidak ada kaitannya antara acces supply dengan Power Wheeling," ujarnya.

Menurutnya, acces supply merupakan listrik yang berasal dari pembangkit listrik eksisting atau sudah ada sebelumnya yang sebagian besar berasal dari pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara. 

"Kalau access supply itu kan listrik yang asalnya dari yang sekarang eksisting yang kebanyakan dari batu bara. Kalau power wheeling hanya untuk listrik yang terbarukan. Jadi beda," ungkapnya. 

Harus Dimaksimalkan

Direktur Executive Energy Watch Mamit Setiawan mengatakan belum selesainya Rancangan Undang-undang (RUU) Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBT) karena memang masih ada hal-hal yang perlu disesuaikan antar-pemerintah sendiri.

"Setahu saya belum ada DIM yang diberikan pemerintah kepada DPR dalam hal ini komisi VII," ujar Mamit saat dikonfirmasi Warta Ekonomi, Senin (24/10/2022). 

Mamit mengatakan, dengan belum adanya DIM tersebut, maka DPR belum bisa melakukan pembahasan terkait dengan EBT. Menurutnya, sudah seharusnya sebagaimana yang ditargetkan dan dalam mengusung transisi energi, maka Undang-undang tersebut harus bisa segera diselesaikan. 

"Mengingat ini harus menjadi acuan dalam menarik investasi di sektor EBT. Dengam adanya UU EBT ke depannya, maka kepastian hukum dalam pengembangan dan pemanfaatan EBT di Indonesia akan semakin masif dan menarik," ujarnya.

Lanjutnya, ia mempertanyakan isu power wheeling yang tiba-tiba muncul dalam pembahasan di pemerintah di mana sebelumnya hal tersebut tidak ada. 

"Mesti kaji kembali baik dan buruknya power wheeling ini. Jangan sampai nanti penerimaan negara berkurang dengan adanya kebijakan ini. Pemerintah mesti berhati-hati. Di sisi lain, adanya power willing ini bisa meningkatkan investasi di sektor EBT," tutupnya.

Belum Ada Kesepakatan

Pengamat ekonomi energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmi Radhi menilai lambannya penyelesaian Rancangan Undang-undang (RUU) Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBT) karena adanya belum kesepakatan antara pemerintah dan DPR. 

Menurutnya, berdasarkan pandangan salah satu pimpinan komisi VII DPR RI di mana nantinya PLN bukanlah satu-satunya yang dapat menjual listrik.

"Edy suparno dalam salah satu diskusi dalam EBT itu PLN bukan satu-satunya yang menjual, tapi dibuka opsi lain bahwa swasta boleh menjual, dia menyebutnya multi-buyer multi-seller di mana multi seller sudah berjalan yang ikut menjual tetapi distribusinya PLN," ujar Fahmi saat dikonfirmasi Warta Ekonomi, Senin (24/10/2022).

Fahmi menyebut bahwa jika benar hal tersebut terjadi dalam RUU EBT dengan mencantumkan multi-seller dan multi-buyer, maka akan banyak melanggar beberapa Undang-undang yang telah ada sebelumnya.

"Kalau benar bahwa dalam RUU EBT itu mencantumkan multi-seller dan multi-buyer, maka itu melanggar undang-undang kelistrikan, melanggar keputusan MK bahkan melanggar UUD 1945, jadi itu enggak boleh, itu mungkin salah satu ganjaran yang belum diselesaikan," ujarnya. 

Meski begitu, ia menilai secara keseluruhan RUU tersebut cukuplah komprehensif dalam menciptakan iklim energi baru dan terbarukan di Indonesia.

"Tapi secara keseluruhan, draf RUU EBT itu cukup komprehensif yang mengatur banyak hal termasuk dalam penerapan tarif," ucapnya. 

Ia menilai belum selesainya Rancangan Undang-undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBT) kemungkinan diakibatkan masalah teknis.

"Ya itu saya kira masalah teknis yang harus segera diselesaikan," ujar Fahmy. 

Fahmi mengatakan lambannya penyelesain RUU yang disebut karena daftar isian masalah (DIM) yang masih belum diserahkan pemerintah ke DPR harus segera dapat diberikan untuk memberikan kepastian akan RUU tersebut.

"Kan DPR bisa menyurati pemerintah untuk segera menyerahkannya," ujarnya. 

Menurutnya, hal tersebut perlu dilakukan lantaran sudah adanya komitmen antara pemerintah dan DPR untuk dapat menyelesaikan Undang-undang tersebut sebelum adanya sidang G20 di Bali November 2022 mendatang.

"Saya kira komitmen bersama dan DPR kan bisa menyurati pemerintah atau mengingatkan pemerintah untuk segera diselesaikan," ungkapnya.

Meski begitu, ia menilai terkait masalah substansi dalam undang-undang itu justru yang harus disepakati bersama. 

"Misalnya draf yang berisi tentang multi-buyer dan multi-seller-nya PLN ini jelas bertentangan dengan UU dan itu tidak boleh dan itu harus disepakati oleh pemerintah dan DPR jangan sampai berlawanan dengan UU," tutupnya.

Payung Hukum yang Jelas

Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan payung hukum percepatan transisi energi perlu diwadahi dalam bentuk undang-undang EBT. 

"Waktu semakin mendesak untuk menjamin kepastian hukum dan investasi dalam pengembangan EBT," ujar Bhima saat dikonfirmasi Warta Ekonomi, Senin (24/10/2022).

Ia mempertantakan komitmen pemerintah yang sudah sangat jelas dalam mencapai Net Zero Emission pada 2060 yang berbanding terbalik dengan lambannya pengesahan RUU EBT. 

"Tapi kenapa RUU EBT tidak segera disahkan? Membuat Omnibus Law Cipta Kerja bisa cepat selesai, begitu juga dengan Omnibus Law Pajak UU HPP," ujarnya. 

Lanjutnya, urgensi RUU EBT padahal lebih penting sebagai momentum mendorong sumber pertumbuhan ekonomi yang baru lewat EBT.

"Kenapa ditunda terus? Khawatir ada lobi pengusaha di sektor fosil dan ekstraktif yang menghambat pembahasan RUU EBT," ucapnya.

Menurutnya, jika ada polemik misalnya soal definisi energi terbarukan apakah mencakup hilirisasi batu bara, tentu hal yang terang bahwa transisi energi ingin menjauhkan dari sumber fosil harus jadi patokan utama.

"Apalagi EBT dalam artian mendorong pengembangan nuklir, itu sebaiknya di-drop saja. Sehingga pembahasan RUU EBT fokus pada pengembangan energi terbarukan, seperti hidro, surya, angin, dan gelombang. Itu cara agar percepatan RUU EBT bisa dilakukan," ungkapnya.

Alasan yang Tak Tepat

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menyesali tindakan Kementerian Keuangan yang belum menyetujui DIM RUU EBT karena Power Wheeling dengan dalih PLN sedang mengalami over capacity. 

"Padahal kita tahu persis bahwa persoalan over capacity itu kan bukan selama-lamanya, kita bicara undang-undang yang akan berlaku cukup lama paling tidak 10 tahun ke depan setelah dia diundangkan sementara over capacity kan tidak selama itu," ujar Fabby saat dikonfirmasi Warta Ekonomi, Jumat (28/10/2022).

Fabby juga mempertanyakan perihal keberatan Kemenkeu akan Power Wheeling tersebut, apakah Kemenkeu sudah melakukan studi kajian. Bukan hanya itu, jika fokus dari Kemenkeu, kebijakan tersebut akan merugikan PLN juga menjadi pertanyaan.

"Bukankah itu bagus untuk PLN ke depannya karena kemudian dia bisa menyewakan jaringan tenaga listrik itu dan sekaligus power wheeling itu bisa menaikan target energi terbarukan dan mendukung transisi energi," ujarnya.

Lanjutnya, Fabby menilai bahwa Power Wheeling itu diperlukan sehingga pemanfaatan energi terbarukan tidak hanya bergantung pada PLN, tapi bisa mendorong berbagai pihak untuk memanfaatkan energi terbarukan.

"Kan power wheeling itu penggunaan jaringan bersama khususnya untuk industri, mereka bisa untuk membeli langsung energi terbarukan ya dari pihak lain dengan menggunakan power wheeling, dan di sini juga akan mendorong PLN untuk lebih cepat mengadopsi pembangkit energi terbarukan," ucapnya.

Adapun alasan industri ataupun konsumen membutuhkan energi terbarukan karena untuk menurunkan emisi rumah kaca, sementara intensitas emisi listrik PLN tinggi 0,8 juta ton per MWh, sedangkan Vietnam 0,55 juta ton per MWh, jadi selisihhya dengan Indonesia 30 persen. 

Menurutnya, industri yang berorientasi ekspor, mereka ingin menurunkan kadar karbon dari listrik. Di mana jika PLN tidak cepat menurunkan kadar karbon tersebut, maka mereka kemungkinan besar akan mencari sumber lain.

Sumber lain dari energi yang bisa dipakai oleh industri tersebut, salah satunya adalah Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) atau dengan membeli listrik energi hijau.

"Sekarang kan tidak bisa dilakukan itu dengan direct per case, dengan power wheeling, opsi itu dimungkinkan bahkan PLN pun sebenarnya bisa mendapatkan manfaat, jadi industri bisa beli langsung dari anak perusahaan PLN yang menggunakan energi terbarukan tapi menggunakan skema power wheeling, jadi pilihan opsinya banyak terkait power wheeling, swasta bisa mengembangkan, anak perusahaan PLN bisa mengembangkan, dan dengan itu PLN bisa mengoptimalkan jaringanya," ungkapnya.

"Transmisi itu kan orang bayar power wheeling, kan PLN seperti jalan tol sudah saya charge saja per kwhnya, per kwhnya berapa kan bisa diatur nanti pentarifanya," imbuhnya.

Fabby mengatakan lambannya tindakan pemerintah yang masih menunda penyerahan DIM sudah seharusnya membuat DPR mengambil tindakan dengan menyurati pemerintah. 

"DPR harus menyampaikan permintaan kepada pemerintah untuk segera mengirimkan," ujarnya. 

Adapun alasan pemerintah belum mengirimkan DIM tersebut karena ada satu hal yang masih belum sepakat yaitu Power Wheeling atau pemanfaatan bersama jaringan tenaga listrik yang diajukan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) yang masih belum disetujui Kementerian Keuangan (Kemenkeu).

"Karena itu, jadi Power Wheeling untuk EBT, nah ini malah ditolak oleh Kemenkeu, menurut saya si enggak paham tuh Kemenkeu. dan sepertinya perlu segera presiden turun tangan, jangan-jangan ibu Kemenkeunya juga tidak paham Power Wheeling itu apa," ucapnya. 

Menurutnya, hal tersebut perlu dilakukan karena adanya penolakan Kemenkeu yang kurang punya dasarnya justru menghambat agenda presiden untuk mempercepat pencapaian energi terbarukan.

"Ingat target 23 persen 2025 juga adalah target Jokowi diatur dalam Perpres 22 2017, jadi menurut saya dibahas di rapat kabinet kalau perlu Menkeu ditegurlah karena penolakan itu tidak berdasar, dan saya sarankan Ibu Menkeu untuk mengundang pakar-pakar yang kompeten untuk memberikan nasehat soal Power Wheeling itu," ungkapnya. 

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Djati Waluyo
Editor: Rosmayanti

Bagikan Artikel: