Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Bedah Buku Nicotine War, Di Bawah Sri Mulyani: Petani Tembakau dan Cengkeh Mati!

Bedah Buku Nicotine War, Di Bawah Sri Mulyani: Petani Tembakau dan Cengkeh Mati! Kredit Foto: WE
Warta Ekonomi, Jakarta -

Komunitas Kretek bekerja sama dengan DEMA Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menggelar bedah buku Nicotine War karya Wanda Hamilton (7/11). Diskusi bedah buku ini bertajuk ‘Di Bawah Sri Mulyani: Petani Tembakau dan Cengkeh Mati!' menghadirkan narasumber Akhmad Zakky, Pengajar Sastra Inggris UIN Syarif Hidayatullah; Aprillia Hariani, Peneliti Ekonomi;  dan Abhisam Demosa, Koordinator Nasional Komunitas Kretek 2010-2016 dan Penulis buku “Membunuh Indonesia”.

Menurut Abisham, Nicotine War merupakan hasil riset dan kajian Wanda Hamilton yang menguliti kepentingan bisnis obat-obatan dan dikenal sebagai Nicotine Replacement Therapy (NRT) dalam agenda global pengendalian tembakau. Perang nikotin, sebagaimana digambarkan Wanda Hamilton, sudah nyaris dimenangkan oleh korporasi-korporasi farmasi internasional dengan kesuksesannya melalui kampanye global anti tembakau serta dukungan penuh dari WHO, lembaga kesehatan publik, pemerintahan dan NGO anti tembakau.

"Kampanye yang massif bahkan mengglobal menjadikan rokok sebagai musuh yang harus diperangi bersama. Kemudian, hadir patgulipat korporasi farmasi yang terdiri dari pemerintah federal (AS), para dokter, organisasi nirlaba dan WHO."

Bagi Abhisam, isu anti rokok selaras dengan kepentingan mereka untuk menaikkan cukai rokok setinggi-tingginya. "Sejak simplifikasi tarif mulai diberlakukan tahun 2012, cukai rokok melonjak sampai hampir 90 persen dan sebagian besar di antaranya ditandatangani oleh Sri Mulyani. Ini berimbas terhadap jumlah pabrik kretek yang menurun dari 2013 hingga 2018," terang Abhisam.

Sementara itu, Aprillia Hariani mengungkapkan bahwa Indonesia menganut satu kurva (ekonomi) yang harus ditaati. Namun demikian, kurva tersebut harus menyesuaikan dengan kepentingan politik yang ada. Indonesia menganut satu kurva yang harus ditaati, tapi harus menyesuaikan dengan kepentingan politik.

"Salah satu pengusaha rokok yang ada di Kediri mengeluhkan tindakan pemerintah dalam melakukan pemberantasan rokok ilegal. Ia menilai tindakan pemerintah kurang efektif. Akhirnya, ia mengadu ke Komite Pengawas Pajak," ungkap Aprillia.

Aprillia juga melanjutkan penjelasannya bahwa di tengah pandemi Covid-19, satu-satunya industri yang tumbuh secara ekonomi adalah Industri Hasil Tembakau (IHT). Pada 2021, kontribusi cukai hasil tembakau mencapai Rp173,8 triliun. Artinya, mampu berkontribusi 10,11% kepada APBN. 

"Kebijakan cukai seperti pisau bermata dua. Di satu sisi meningkatkan penerimaan negara namun di satu sisi juga pemerintah mengklaim industri ini juga menyerap anggaran kesehatan negara," ucap Aprillia.

Di sisi lain, Akhmad Zakky menegaskan bahwa pentingnya Nicotine War untuk dikaji kembali. "Korporasi farmasi berusaha masuk melalui asosiasi profesi dan kemudian merangsek ke dunia mahasiswa kedokteran. Produk tembakau, pada akhirnya, tidak boleh tampil di ruang publik (media)," ujar Zakky.

Zakky juga menyoroti bahwa tembakau telah menjadi arena pertarungan global yang sangat ketat. Padahal, jika ditarik ke belakang, orang American Native menggunakan tembakau sebagai tradisi. Sekarang, tembakau justru dimusuhi. 

"Merokok itu membunuhmu, tapi negara mendapatkan untung besar dari produk tembakau. Ini paradoks sekali. Yang patut diketahui adalah dampak Nicotine War hadir di sekeliling kita. Kita hanya diberikan pengetahuan ini merusak atau itu tidak. Ini benar, itu salah. Padahal yang kita lihat adalah perang wacana," pungkasnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Sufri Yuliardi
Editor: Sufri Yuliardi

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: