Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Transisi Energi Harus Mencakup Dua Hal Ini

Transisi Energi Harus Mencakup Dua Hal Ini Petugas melakukan perawatan panel surya pada Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) di Bandara I Gusti Ngurah Rai, Badung, Bali, Rabu (21/9/2022). Angkasa Pura I mengoperasikan PLTS untuk menyuplai energi listrik di gedung parkir bandara sebagai upaya menjaga kelestarian lingkungan dengan memanfaatkan energi baru terbarukan guna menekan emisi karbon sekaligus untuk mendukung penyelenggaraan KTT G20 di Bali. | Kredit Foto: Antara/Fikri Yusuf
Warta Ekonomi, Jakarta -

Maraknya istilah transisi energi yang digembor-gemborkan oleh pemerintah maupun institusi dunia untuk dapat mengurangi emisi gas rumah kaca yang dihasilkan oleh proses pembakaran bahan bakar fosil. 

Direktur Eksekutif Yayasan Indonesia Cerah, Adhityani Putri, mengatakan terdapat dua definisi transisi energi yang saat ini beredar, salah satunya adalah phase out atau down dari pemanfaatan sumber energi yang emisinya tinggi atau juga bisa didefinisikan sebagai energi fosil. 

Baca Juga: Keterjangkauan dan Pembiayaan Jadi Masalah Utama Transisi Energi

"Kemudian, ada aspek phase in-nya untuk meningkatkan pemanfaatan sumber energi yang emisinya rendah atau pemanfaatan teknologi yang dapat menekan emisi atau bahkan menghilangkan emisi (carbon removal technologies)," ujar Adhityani dalam diskusi virtual, Sabtu (19/11/2022). 

Adhityani mengatakan, dalam praktiknya, dua definisi tersebut tidak dilakukan secara beriringan melainkan hanya salah satu saja. Padahal, untuk mencapai definisi secara utuh keduanya harus disandingkan. 

Baca Juga: CPI Dukung Percepatan Transisi Energi Indonesia

"Karna kadang penggunaan transisi energi tapi ter-capture-nya hanya 1 sisi, hanya soal EBT atau hanya soal pull phase out. Sesungguhnya, harusnya mencakup kedua aspek ini," ujarnya. 

Lanjutnya, urgensi transisi energi tercipta karna menghadapi krisis iklim dan ada kebutuhan untuk menahan kenaikan suhu rata-rata dunia di bawah 1,5 derajat. 

Adhityani menyebut iklim itu kaitannya sangat erat dengan kehutanan dan lahan. Tetapi, ke depannya, strategi iklim indonesia harus sangat mengandalkan mitigasi di sektor energi

"Karena berdasarkan proyeksinya Bappenas, kalau misalnya tidak terjadi apa-apa, maka emisi gas rumah kaca indonesia kebanyakan," ucapnya. 

Baca Juga: Pemerintah Perlu Memfokuskan Rencana Transisi Energi

Lebih lanjut, ia menyebut Indonesia dikenal sebagai negara yang menduduki posisi ke 10 sebagai penyumbang gas rumah kaca terbesar di dunia. 

"Selalu disebut berdasarkan land use and forest. Ajdi emisi yang berasal dari deforestasi, degradasi lahan dan sebagainya. Tapi apabila tidak ada hal yang berubah, maka dari tahun 2030 saja emisi dari sektor energi kita itu akan menyaingi emisi dari sektor lahan dan hutan. Dan ini adalah suatu hal yang perlu diubah sekarang karena energi punya sifat lock in," ungkapnya. 

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Djati Waluyo
Editor: Ayu Almas

Tag Terkait:

Bagikan Artikel: