Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Biar Nggak Salah Bikin Kebijakan, Kemenkes Diminta Manfaatkan Data BPS

Biar Nggak Salah Bikin Kebijakan, Kemenkes Diminta Manfaatkan Data BPS Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Penghimpunan data yang berbeda dari kementerian/lembaga pelat merah seringkali menimbulkan kebingungan di publik. Situasi yang umum disebut diskrepansi ini juga celakanya memiliki potensi menghambat implementasi kebijakan-kebijakan strategis pemerintah. Multitafsir terhadap data yang berbeda-beda disebut akan memicu perumusan kebijakan yang tidak efektif.

Diskrepansi data kesehatan, misalnya, terjadi dalam ketidakselarasan data prevalensi perokok anak antara Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dan Badan Pusat Statistik (BPS). Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) yang dilakukan setiap tahun oleh BPS menunjukkan adanya tren penurunan prevalensi perokok anak selama empat tahun terakhir, atau sejak integrasi dengan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang dicatat Kemenkes. Sebaliknya, Kemenkes menyebut prevalensi perokok anak meningkat dengan mengacu Riskesdas, dari 7,2% pada 2013 menjadi 9,1% pada 2018. 

Direktur Statistik Kesejahteraan Rakyat BPS Ahmad Avenzora menjelaskan, mengapa hasil pendataan beda lembaga ini bisa memberikan hasil yang berbeda. Faktor-faktornya mulai dari metode, cakupan survei sampai waktu pengambilan data. Baca Juga: BPS Luncurkan Neraca Institusi Terintegrasi, Dukung Data Perekonomian Nasional yang Komprehensif

“Salah satu perbedaan terjadi karena cakupan jenis produk yang berbeda. Riskesdas turut mencakup produk selain rokok seperti shisa. Sementara dalam Susenas, BPS hanya menghitung rokok. Selain terkait cakupan, waktu survei juga bisa saja memengaruhi perbedaan angka tersebut,” ungkap Ahmad dalam pernyataan tertulisnya di Jakarta, Rabu (30/11/2022).

Ahmad menambahkan perbedaan pendekatan ini pula yang menyebabkan hasil pendataan yang berbeda. Apalagi Susenas dilakukan setiap tahun, sementara Riskesdas dilakukan setiap lima tahun, dimana terakhir dilakukan pada 2018 dan akan dilakukan kembali pada 2023. 

Menanggapi hal ini, Direktur Pusat Studi konstitusi dan Legislasi Nasional UIN Syarif Hidayatullah Nur Rohim Yunus menilai diskrepansi data prevalensi perokok anak tak hanya menciptakan situasi multitafsir dalam merepresentasikan realitas dalam data. Namun dapat berakibat pula dalam perumusan kebijakan publik yang tidak efektif bahkan salah sasaran.

“Implikasi yang timbul dari adanya diskrepansi data prevalensi perokok anak di Indonesia berakibat pada kesalahan dalam pengambilan kebijakan kesehatan dari pemerintah, khususnya di Kementerian Kesehatan,” timpal Nur Rohim. 

Menurut hematnya, Kementerian Kesehatan semestinya merujuk pada data Susenas yang dilakukan oleh lembaga resmi negara seperti diwajibkan oleh Undang-undang. Namun, ia mengamati bahwa Kemenkes justru mengambil data dari lembaga asing sebagai rujukan. Nur Rohim berpandangan bahwa hal ini malah memperparah diskrepansi data yang ada, selain juga memunculkan kesan bahwa BPS terpinggirkan oleh lembaga asing. Baca Juga: Kemenkes Konfirmasi Tidak Ada Kasus Gagal Ginjal Akut dalam Dua Minggu Terakhir

“Perlu adanya upaya mewujudkan Visi Satu Data Indonesia (SDI) sebagaimana yang telah diamanatkan dalam Perpres No. 39 Tahun 2019. Bila Visi SDI ini dapat terwujud dengan baik, maka tidak akan terjadi lagi diskrepansi karena data yang diambil oleh berbagai pihak berdasarkan pada sumber yang sama. Tentunya data yang dirujuk harus akurat, mutakhir, terpadu, dapat dipertanggungjawabkan, mudah diakses, dan dibagipakaikan,” ungkap Nur Rohim.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Fajar Sulaiman
Editor: Fajar Sulaiman

Bagikan Artikel: