Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Erick Thohir: Transisi ke EBT di Indonesia Tidak Ikuti Pola Negara Lain

Erick Thohir: Transisi ke EBT di Indonesia Tidak Ikuti Pola Negara Lain Erick Thohir | Kredit Foto: Twitter/Erick Thohir
Warta Ekonomi, Jakarta -

Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir menyebut transisi energi dari energi berbasis fosil menuju energi baru terbarukan (EBT) akan dilakukan dengan cara Indonesia, dan melihat kondisi yang ada di Indonesia. 

Menurutnya, transisi energi ini tidak akan menggunakan pola pikir negara lain karena kondisi lapangan di Indonesia sangat berbeda.

“Indonesia kan negara kepulauan, tidak semua pulau memiliki (sumber) EBT. Ini yang perlu dicari solusinya, yaitu menyambungkan kabel antarpulau dengan transmisi. Jadi kita dukung EBT dengan transisi,” ujar Erick dalam keterangan tertulis yang diterima, Senin (5/12/2022). 

Baca Juga: Percepat Transisi Hijau, Swedia Kembali Helat SISP Week 2022

Erick mengatakan bahwa transisi menuju EBT harus dilakukan dengan cara Indonesia. Pasalnya 75 persen wilayah Indonesia adalah laut, dan merupakan kepulauan. 

“Kita harus memetakan soal EBT ini karena kita beda dengan Amerika, Eropa, dan China yang berbentuk satu pulau. Kita kepulauan, 75 persen laut. Sehingga kunci logistik adalah penting,” ujarnya.

Menurutnya, berbagai upaya terus menjadi pertimbangan pemerintah dalam proses transisi menuju EBT. Salah satu yang mengemuka adalah program Pensiun Dini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). 

”Yang kita inginkan dalam mengonsolidasikan kelistrikan ini, kita tidak mau mengikuti pola pikir negara-negara lain," ungkapnya. 

Lanjutnya, transisi menuju EBT di Indonesia tidak dapat disamakan dengan negara lain karena perlu dilihat harga jualnya hingga ke masyarakat. Jika terlalu mahal, maka rakyat yang akan menanggungnya.

"Kalau di luar negeri itu, bayar listrik dan BBM lebih mahal, (tidak masalah) asal green (berbasis EBT), (masyarakatnya) tetap beli. Nah kalau di Indonesia itu belum siap. Tingkat kemiskinan dan kesenjangan masih terasa. Itu yang harus kita perhatikan," ucapnya. 

Demikian juga dengan industri dalam negeri, pelaku usaha juga akan menjadi tidak kompetitif jika dibebani harga listrik yang mahal. Banyak negara ingin dunia usaha Indonesia itu tidak kompetitif. 

"Itulah makanya pemerintah mengambil posisi tahun 2060 (untuk target Net Zero Carbon), bukan 2050. Kementerian BUMN juga mengambil posisi, kita lakukan kesepakatan tetapi tidak menyebabkan (pelaku usaha) mati besok. Kalau besok mematikan, industri kita collapse," ujarnya. 

Erick menyebutkan bahwa cetak biru penghentian dini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berkapasitas total 15 Giga Watt (GW) terus dilakukan secara bertahap.

 Di sisi lain, Indonesia juga memiliki potensi pengembangan EBT, seperti panas bumi yang berpotensi menghasilkan energi sebesar 24 GW. Itu belum termasuk potensi pengembangan EBT dari tenaga angin, air, hingga matahari. 

Selain itu, pasokan listrik dari EBT dapat saja memasok jaringan transmisi yang ada saat ini, setelah kelebihan pasokan energi listrik mulai mereda. 

Dengan demikian, program Power Wheeling atau penggunaan jaringan tenaga listrik bersama antara PT PLN (Persero) dan pembangkit swasta (Independent Power Producer/IPP) penghasil listrik EBT tetap menjadi opsi dalam proses transisi EBT ini.

“Ini (Power Wheeling) adalah transisi, bukan berarti kita berhenti. Jadi ini mempercepat agar saudara– saudara kita yang belum punya listrik bisa teraliri listrik dulu. Dapatkan akses listrik terlebih dahulu, baru EBT. Karena EBT itu lebih mahal. Pelan-pelan kita sinkronisasikan. Yang namanya EBT adalah sesuatu yang tidak bisa kita hindarkan. Tetapi yang penting adalah proses transisinya,” tutupnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Djati Waluyo
Editor: Rosmayanti

Bagikan Artikel: