Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Sampai Ancam Angkat Senjata, Ternyata Ini Inti Permasalahan yang Terjadi Terkait Keluhan Bupati Meranti Menurut Pengamat

Sampai Ancam Angkat Senjata, Ternyata Ini Inti Permasalahan yang Terjadi Terkait Keluhan Bupati Meranti Menurut Pengamat Kredit Foto: Instagram/Muhammad Adil
Warta Ekonomi, Jakarta -

Publik dihebohkan dengan video yang menampilkan keberanian Bupati Meranti Muhammad Adil yang mengkritik Kementerian Keuangan (Kemenkeu) terkait Dana Bagi Hasil (DBH) minyak di wilayah yang dipimpinnya. Adil bahkan menyinggung angkat senjata, memisahkan diri dari Indonesia, sampai eneg lihat orang kemenkeu.

Menanggapi hal ini, Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute Achmad Nur Hidayat angkat suara. Achmad menyinggung keadaan Meranti yang menurutnya berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) penduduk miskin di Kabupaten Meranti pada 2021 tercatat masih ada sebanyak 48,50 ribu orang. Tercatat, pada 2020, jumlah penduduk miskin di Kabupaten Meranti tercatat sebanyak 47,10 ribu orang dan 2019 tercatat sebanyak 49,89 ribu orang.

“Jika dilihat dari persentasenya, jumlah penduduk miskin Meranti pada 2021 sebesar 25,68 persen dari total penduduk Meranti. Artinya, 1 dari 4 orang di Meranti terbilang miskin,” ujar Achmad dalam keterangan resmi yang diterima redaksi wartaekonomi.co.id, Rabu (14/12/22).

Baca Juga: Ancam Angkat Senjata Sampai Eneg Lihat Orang Kemenkeu, Ternyata Bupati Meranti Juga Berani 'Ribut' dengan Gubernur dan Menterinya Jokowi!

Menurut Achmad, Apa yang dipermasalahkan Adil ini adalah terkait UU No 1 Tahun 2022 Tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (HKPD) dan transparansi Bagi Hasil kepada daerah Penghasil Migas.

Lanjut Achmad, UU HKPD ini memang sejak disahkan mendapat kritik dari banyak pihak dimana beberapa hal yang menjadi catatan bahwa UU ini justru memperkuat resentralisasi dan mereduksi semangat desentralisasi yang merupakan inti dari otonomi daerah.

“Misalnya pada Pasal 169 UU HKPD menyebutkan bahwa pemerintah pusat dapat mengendalikan APBD pada tiga kondisi yaitu: (i) penyelarasan kebijakan fiskal pusat dan Daerah; (ii) penetapan batas maksimal defisit APBD dan pembiayaan Utang Daerah dan (iii) pengendalian dalam kondisi darurat. Ketentuan ini menyebabkan daerah tidak bebas dalam mengelola fiskalnya sehingga hilangnya semangat reformasi, otonomi daerah, dan desentralisasi fiskal,” lanjutnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Bayu Muhardianto

Bagikan Artikel: