Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Keberlangsungan Ekosistem IHT Makin Terancam Karena Intervensi Asing

Keberlangsungan Ekosistem IHT Makin Terancam Karena Intervensi Asing Kredit Foto: Antara/Patrik Cahyo Lumintu
Warta Ekonomi, Jakarta -

Lembaga asing terus mendorong regulasi-regulasi antitembakau di negara berkembang. Di Indonesia, para pelaku industri hasil tembakau (IHT) menentang aksi penetrasi para lembaga donor asing. Pasalnya, berbagai program yang bertujuan mempengaruhi kebijakan dalam negeri Indonesia telah mengancam keberlangsungan ekosistem IHT. 

Pelaku industri tembakau menyoroti gelaran 7th Asia Pacific Summit of Mayors yang diselenggarakan Asia Pacific City Alliance for Health and Development (APCAT). Karena dalam acara tersebut, penghargaan juga diberikan kepada Pemerintah Daerah terpilih yang dinilai telah menerapkan sejumlah regulasi daerah yang bersifat sangat restriktif dan justru bertentangan dengan peraturan nasional.

Hal ini mencakup larangan total promosi iklan tembakau dan mendukung upaya untuk mendorong implementasi peringatan kesehatan bergambar, dan bahkan penerapan kemasan polos pada bungkus produk tembakau.

Baca Juga: AMTI Minta Pemerintah Lindungi Industri Tembakau dari Intervensi Asing

Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo) Benny Wahyudi turut mengkritik dominasi agenda antitembakau yang dikampanyekan lembaga asing. Sebab, tendensi ini sangat memojokkan IHT yang merupakan salah satu komoditas unggulan nasional.

“Dari awal acara ini sudah tendensius. Dari awal, bukan membahas kesehatan dan pembangunan secara umum, melainkan objektifnya jelas untuk pembatasan tembakau. Padahal dalam konteks Indonesia, kaitan pembangunan dan kesehatan banyak, ada soal air bersih, kesejahteraan tenaga kesehatan, target vaksinasi Covid-19, dan masih banyak lagi. APCAT baik-baik saja, namun karena acaranya barangkali ada sponsor, jadi mengarah ke pembatasan tembakau yang jelas memojokkan IHT,” papar Benny. 

Gaprindo, sambung Benny, sangat keberatan terkait dorongan untuk menerbitkan regulasi pembatasan tembakau secara berlebihan. Ini yang terjadi di beberapa peraturan daerah, seperti di Kota Bogor dan Kota Depok, dimana regulasi pembatasan rokoknya bahkan melampaui ketentuan regulasi yang berada di atasnya, seperti Peraturan Pemerintah Nomor 109/2012. 

Penetrasi-penetrasi seperti ini bahkan dinilai Benny bukan lagi kampanye atau edukasi terhadap kesehatan public, melainkan bentuk intervensi yang dilakukan organisasi asing terhadap regulasi-regulasi di Indonesia. Apalagi regulasi terkait IHT juga terdapat kepentingan mulai dari penerimaan negara, penyerapan tenaga kerja, dan kesejahteraan petani, yang seharusnya tidak diintervensi dari luar pemerintahan Indonesia karena sensitif serta menyangkut kondisi perekonomian negara.

Baca Juga: Visi Indonesia Emas 2045 dari Sudut Pandang Problem Tembakau: Mampukah Tercapai?

Sementara itu, Ketua Umum Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (DPN-APTI) Agus Parmuji juga menilai PP 109/2012 menjadi salah satu target intervensi oleh kelompok antitembakau. 

“Saya melihat dorongan revisi PP 109/2012 memang dilakukan oleh kekuatan besar yang didukung dengan kucuran dana lembaga asing. Makanya kami menolak keras rencana revisi, karena implementasi regulasi yang berlaku saat ini pun sebenarnya sudah sangat ketat. Jika PP 109/2012 direvisi pun belum tentu menguntungkan Indonesia, tapi sudah pasti akan langsung mematikan petani tembakau. Padahal, kebijakan cukai baru saja naik,” papar Agus. 

Oleh karenanya, Agus turut mendorong pemerintah agar dapat mandiri dalam menentukan regulasi tanpa campur tangan LSM- LSM yang sudah jelas disponsori oleh lembaga donorasing.  Kelompok-kelompok ini nyatanya tidak peduli terhadap nasib petani tembakau yang sudah pasti akan terdampak akibat poin-poin pelarangan total yang dimuat dalam revisi PP 109 Tahun 2012.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Annisa Nurfitri
Editor: Annisa Nurfitri

Bagikan Artikel: