Analis Soroti TikTok Dapat Jadi Ancaman Bagi E-Commerce di Asia Tenggara
Analis DBS Group Research Sachin Mittal dalam laporannya pada 30 Januari 2023 lalu telah menyoroti bahwa TikTok sebagai live e-commerce dengan pengguna aktif terbanyak di Asia Tenggara keberadaannya saat ini bisa menjadi ancaman bagi perusahaan e-commerce di wilayah tersebut.
Dilansir dari The Edge Singapore pada Jumat (3/2/2023), Mittal menerangkan bahwa pendapatan barang dagangan kotor (GMV) e-commerce TikTok mencapai sekitar US$951 juta pada tahun 2021, di mana kontribusi lebih dari 70% dari hasil tersebut berasal dari Indonesia.
Sebagai wilayah dengan pertumbuhan penjualan e-commerce ritel tertinggi secara global, Asia Tenggara diproyeksikan menjadi wilayah yang menjanjikan bagi TikTok Shop, khususnya di Indonesia.
Baca Juga: Platform E-Commerce D2C Plugo Kini Hadir di Indonesia
Membandingkan potensi Indonesia dengan China, Mittel dengan mengutip data dari iResearch menyampaikan bahwa live e-commerce di China telah menyumbang lebih dari 19% e-commerce pada tahun 2018, yang didukung oleh pemain incumbent lokal khususnya Alibaba yang menggandeng anak perusahaan belanja online Taobao untuk mengubungkan siaran live streaming online dengan toko online, di mana saat ini Taobao Live menikmati pangsa pasar 68,5% diikuti oleh Douyin dan Kuaishou.
Dukungan besar Alibaba telah memperkuat platform Taobao Live dengan berupaya mengembangkan 200.000 live streaming baru dan 10.000 akun live streaming di industri dan sektor utama. Dalam hal ini, Mittal menyampaikan bahwa dukungan seperti itu tidak terlihat di Indonesia karena belum ada pemain e-commerce tradisional yang menguntungkan untuk merangkul tren baru.
"Terlihat juga banyak pedagang yang mau berjualan di Facebook karena Fecebook merupakan media sosial yang paling banyak digunakan di Indonesia, dan tidak seperti TikTok dan platform e-commerce lainnya seperti Shopee atau Tokopedia, Facebook tidak menunjukkan niat untuk mengembangkan live e-commerce serupa karena lebih fokus pada periklanan," ujar Mittal.
Terkait ini, Mittal melihat bahwa potensi live e-commerce di pasar Indonesia masih memiliki tiga tantangan utama. Selain karena tidak adanya dukungan pemain lama seperti yang telah disebutkan, Indonesia juga tidak memungkinkan bagi pembuat konten untuk mengenakan pakaian profokatif atau tidak pantas karena mayoritas penduduknya Muslim.
Selain karena dapat membuat pembuat konten mendapatkan perhatian atau pelecahan yang tidak diinginkan, juga karena banyak komunitas agama di Indonesia mungkin tersinggung dengan pakaian yang tidak sopan atau tidak menghormati keyakinan mereka.
Selain itu, untuk alasan utama ketiga, Indonesia memiliki kekurangan dalam produk baru dibandingkan dengan China. Hal ini mungkin terjadi karena tingkat perkembangan ekonomi yang relatif rendah yang membatasi sumber daya yang tersedia untuk penelitian dan pengembangan produk baru, lingkungan politik dan regulasi yang mungkin tidak kondusif untuk inovasi, serta rendahnya tingkat pendapatan yang dapat dibelanjakan atau akses ke teknologi terbaru yang memungkinkan mereka membeli dan menggunakan produk baru.
Tidak hanya itu, Mittal mengatakan bahwa Indonesia memiliki proses pengembalian dan pengembalian dana yang panjang yang terjadi akibat kurangnya regulasi dan pedoman yang jelas untuk diikuti baik oleh penjual maupun konsumen. Sistem hukum yang ada mungkin tidak seefisien di China dan tentu hal tersebut dapat memperlambat proses penyelesaian perselisihan dan pemrosesan pengembalian uang.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Tri Nurdianti
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait:
Advertisement