Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Tiga Hakim PN Jakpus Putuskan KPU Tunda Pemilu, Respons Mantan Ketua MK: Mereka Layak Dipecat!

Tiga Hakim PN Jakpus Putuskan KPU Tunda Pemilu, Respons Mantan Ketua MK: Mereka Layak Dipecat! Kredit Foto: Twitter/Jimly Asshiddiqie
Warta Ekonomi, Jakarta -

Merespons putusan untuk menunda Pemilihan Umum (Pemilu) 2024, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Profesor Jimly Asshiddiqie beri kritikan. Dia meminta Mahkamah Agung (MA) memecat tiga hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) yang memutuskan gugatan keperdataan Partai Rakyat Adil Makmur (PRIMA) atas Komisi Pemilihan Umum (KPU).

Jimly menegaskan, tiga hakim pengadilan tingkat pertama itu fatal dalam amar putusannya dengan menghukum pihak tergugat untuk menunda Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. "Hakimnya itu layak untuk dipecat saja," kata Jimly kepada Republika.co.id via pesan singkat, dikutip Jumat (3/3/2023).

Baca Juga: PN Jakpus Kebablasan, NasDem Ogah Pemilu Ditangguhkan: KPU Tak Perlu Tunduk!

Guru Besar Ilmu Hukum Tata Negara itu menjelaskan, sengketa antara Partai Prima dengan KPU tersebut adalah keperdataan. Hal itu sesuai dengan materi gugatan penggugat kepada tergugat. Namun, sengketa keduanya itu pun menyangkut dengan perkara kepemiluan yang mempersoalkan proses verifikasi peserta pemilu. Dari verifikasi kepesertaan pemilu, KPU memutuskan Partai PRIMA tak lolos ke Pemilu 2024.  

Materi perkara tersebut, pun sebetulnya, kata Jimly, jika terjadi sengketa, penyelesaiannya ada di ranah Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), atau di Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu). "Bukan ke pengadilan perdata," terang Jimly.

Jika nantinya sengketa kepemiluan antara keduanya itu berujung pada hasil pemilu, pun ada lembaga peradilan Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai kamar yudikatif penyelesaian perkaranya. Akan tetapi, kata Jimly, Partai PRIMA mengajukan gugatan keperdataannya terhadap KPU atas kerugian dari proses verifikasi peserta pemilu itu ke PN Jakpus.

Pun itu, Jimly menegaskan, sudah salah kaprah. "Hakimnya tidak profesional, dan tidak mengerti hukum sama sekali. Tidak mengerti hukum pemilu, tidak mampu membedakannya dengan urusan private (keperdataan), dan yang menjadi urusan publik," begitu kata Jimly menegaskan.

Peradilan keperdataan, kata Jimly, mewajibkan para hakimnya untuk membatasi diri pada putusan yang hanya mengikat antara si penggugat dan si tergugat dengan tak mengikat pihak lain yang tak ada sangkut-pautnya dengan sengketa keduanya.

Sementara, masalah pemilu, dikatakan Jimly, menyangkut tentang semua warga negara. "Sanksi (putusan) dari keperdataan itu, juga cukup seperti ganti-kerugian, atau yang lain, yang tidak menyangkut hak-hak orang lain. Bukan malah memutuskan menunda pemilu, yang tegas itu (pemilu) adalah hak masyarakat, dan merupakan kewenangan KPU sebagai penyelanggara (pemiu)," jelas Jimly.

Jimly, yang juga pernah menjabat sebagai Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) itu meminta agar KPU selaku tergugat dalam perkara tersebut mengajukan banding.

Pun kata Jimly, agar semua pihak memastikan pemantauan proses perlawanan hukum atas putusan salah dari sengketa ajuan Partai Prima itu. "Putusan PN Jakarta Pusat ini harus diajukan banding, bila perlu sampai ke kasasi (di Mahkamah Agung). Kita awasi dan tunggu sampai inkrah," begitu kata Jimly.

Baca Juga: Gelar Rakornas, Hanura Beberkan Kriteria Capres di Pemilu 2024

PN Jakpus pada Kamis (2/3/2023) mengabulkan semua gugatan keperdataan yang diajukan Prima atas KPU sebagai tergugat. Dalam putusannya majelis hakim menyatakan KPU melakukan perbuatan melawan hukum.

Putusan lainnya menghukum KPU sebagai tergugat membayar ganti kerugian untuk Prima sebagai penggugat senilai Rp500 juta karena tak lolos verifikasi sebagai peserta Pemilu 2024. Putusan kontroversi dalam perkara ini terkait dengan tuntutan penggugat atas tergugat menyangkut soal Pemilu 2024.

Yaitu dengan menjatuhkan hukuman terhadap KPU sebagai tergugat yang menyelenggarakan pemilu untuk menghentikan seluruh tahapan pemilu selama 2 tahun 4 bulan dan 7 hari. Penghentian tahapan pemilu tersebut dalam putusan dilakukan sejak penjatuhan amar.

"Menghukum Tergugat untuk tidak melaksanakan sisa tahapan Pemilihan Umum 2024 sejak putusan ini diucapkan dan melaksanakan tahapan Pemilihan Umum dari awal selama lebih kurang 2 (dua) tahun 4 (empat) bulan 7 (tujuh) hari," tulis putusan, dikutip Kamis (2/3/2023).

Dalam salinan putusan tersebut, tiga hakim pemutus perkara Partai Prima vs KPU tersebut adalah Hakim T Oyong selaku ketua majelis. Dan dua anggota majelis, yakni Hakim Bakri dan Hakim Dominggus Silaban. Atas putusan ketiga hakim tersebut, KPU pada Kamis (2/3/2023), menyatakan perlawanan hukumnya dengan mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta. 

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Puri Mei Setyaningrum

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: