Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Myanmar Siap-siap, Indonesia dan Singapura Kantongi Strategi Bereskan Konflik

Myanmar Siap-siap, Indonesia dan Singapura Kantongi Strategi Bereskan Konflik Kredit Foto: Getty Images/AFP/Kachinwaves

Bantah laporan

Pemerintah militer Myanmar membantah laporan internasional soal terjadinya pembunuhan massal kepada warga sipil oleh tentaranya. Myanmar justru menyalahkan kelompok perlawanan pro demokrasi anti pemerintah junta militer atas kematian lebih dari 20 orang, termasuk tiga orang biksu Buddha dan seorang wanita.

Anggota kelompok perlawanan bersenjata yang menentang pemerintahan militer mengatakan, mayat 22 orang ditemukan pada Sabtu (11/3/2023) malam di kompleks biara Buddha di Desa Nam Nein, bagian selatan Negara Bagian Shan di Myanmar timur. Mereka menyalahkan tentara atas kematian puluhan orang tersebut.

Namun, tidak ada saksi independen yang muncul. Pembatasan ketat oleh pemerintah militer Myanmar pada aktivitas perjalanan dan informasi membuat hampir tidak mungkin menghadirkan saksi untuk memverifikasi insiden semacam itu.

Desa itu terletak sekitar 80 kilometer (50 mil) di timur Ibu Kota Naypyitaw. Daerah tersebut merupakan bagian dari zona pemerintahan sendiri dari etnis minoritas Pa-O. Wilayah itu diatur oleh Organisasi Nasional Pa-O, atau PNO, yang bersekutu dengan pemerintah junta militer. Sementara itu, kelompok Pa-O lainnya ikut mendukung perlawanan terhadap pemerintah junta militer.

Laporan pembunuhan itu muncul sekitar sepekan setelah tuduhan pada awal bulan Maret ini, yaitu adanya pasukan yang mengamuk di beberapa desa di Myanmar barat. Mereka melakukan pemerkosaan dan pemenggalan serta menewaskan sedikitnya 17 orang warga sipil di sana.

Kritik terhadap militer mengatakan ada bukti kuat bahwa tentara telah berulang kali melakukan kejahatan perang sejak merebut kekuasaan dari pemerintah terpilih Aung San Suu Kyi pada Februari 2021. Penentangan terhadap kekuasaan militer telah berubah menjadi apa yang oleh beberapa pakar PBB digambarkan sebagai perang sipil.

Awal bulan ini, Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia Volker Türk menuduh para jenderal yang berkuasa menerapkan kebijakan bumi hangus dalam upaya untuk membasmi kelompok oposisi.

Kelompok perlawanan antipemerintah dan penduduk desa yang melarikan diri dari Desa Nam Nein sebelumnya, yang tetap berhubungan melalui telepon dengan biara, mengatakan bahwa sekitar 30 orang berlindung di bangunan utamanya sejak pertempuran di daerah itu meningkat pada bulan lalu. Sementara itu, apa tepatnya yang terjadi pada Sabtu pagi semakin tidak jelas.

Namun, setelah aksi kekejaman itu, dokumentasi dalam bentuk foto dan video bermunculan. Seperti yang dirilis di media sosial oleh Pasukan Pertahanan Kewarganegaraan Karenni yang antipemerintah, para biksu dan pria lain dengan luka tembak tergeletak di dekat dan di dinding bangunan utama biara. Mereka juga menunjukkan tumpahan darah dan bekas lubang peluru di dinding.

Di daerah Pa-O berada, di sebelah Negara Bagian Kayah, suku Karenni sebagai etnis minoritas yang berperang melawan pemerintah berada dominan di sana. Seorang pemimpin lokal gerilyawan Karenni yang mengambil foto mengatakan bahwa penembak jitu mereka di daerah sekitar lokasi kejadian telah menggunakan teropong senapan mereka.

Dengan teropong itu, mereka menyaksikan sekitar 100 tentara pemerintah menembakkan senjata dan membakar rumah warga saat tentara memasuki desa pada Sabtu pagi.

Dia mengatakan, para penembak jitu tidak dapat menyaksikan lebih banyak karena mereka harus mundur ketika mendapatkan serangan dari pesawat pemerintah. Gerilyawan Karenni, yang meminta untuk tidak disebutkan namanya karena takut pembalasan oleh militer, mengakui bahwa pasukannya tidak menyaksikan langsung pembunuhan tersebut. 

Namun, mereka hanya melihat mayat setelah tentara pemerintah memasuki desa pada Sabtu malam dan akhirnya mengambil foto pascakejadian itu. Dia membantah keras tuduhan yang menyebut pasukan perlawanan bertanggung jawab atas pembunuhan tersebut seperti yang dituduhkan oleh tentara dan pendukung junta militer.

Mayor Jenderal Zaw Min Tun, juru bicara dewan militer yang berkuasa di Myanmar, mengatakan bahwa kekerasan tersebut diprakarsai oleh pasukan perlawanan yang menyergap pasukan tentara Myanmar dan anggota pasukan milisi terkait dan kemudian memasuki desa tempat pertempuran berlanjut.

Dia menggambarkan pasukan perlawanan, Partai Progresif Nasional Karenni, sebuah milisi etnis minoritas yang ikut memerangi tentara junta Myanmar, dan sekutu mereka di Pasukan Pertahanan Nasionalitas Karenni dan Pasukan Pertahanan Rakyat, sebagai “kelompok teroris”. Kelompok itu disebut telah mengancam daerah tersebut sejak awal tahun ini.

Karenni telah berjuang selama beberapa dekade untuk mendapatkan otonomi yang lebih besar dari pemerintah junta militer.

Sementara itu, Pasukan Pertahanan Rakyat dibentuk oleh gerakan pro demokrasi setelah pengambilalihan pemerintahan Myanmar oleh kelompok militer tahun 2021, dan bersekutu dengan kelompok-kelompok lain termasuk seperti Karenni.

“Ketika (para) kelompok teroris melepaskan tembakan dengan keras, terlihat bahwa beberapa penduduk desa tewas dan terluka,” kata juru bicara militer dalam wawancara yang diterbitkan pada Selasa di surat kabar Global New Light of Myanmar yang dikelola pemerintah.

Zaw Min Tun mengatakan, tentara hanya melakukan serangan balik terhadap tiga kelompok perlawanan. Ia pun menyebut laporan bahwa tentara junta militer bertanggung jawab atas pembunuhan penduduk desa adalah informasi yang salah.

Seorang warga Desa Nam Nain berusia 45 tahun yang meninggalkan desa itu pada akhir Februari lalu karena pertempuran mengatakan kepada the Associated Press bahwa dia telah berhubungan setiap hari melalui telepon dengan biksu ketua biara yang menolak permintaannya untuk pergi.

“Biksu itu menelpon saya pada pukul delapan pagi pada Sabtu. Dia berkata, 'Mereka masuk ke desa. Saya bisa mendengar suara tembakan dan artileri,’ dan dia tiba-tiba menutup telepon,” kata warga desa yang berbicara tanpa menyebut nama karena dia takut dihukum oleh pihak pemerintah yang berwenang.

“Dia tidak bisa mengatakan kelompok mana yang masuk. Jadi, tidak jelas siapa yang membunuh orang-orang itu,” kata warga tersebut, Senin. Dia menambahkan bahwa biksu itu, yang merupakan keponakannya, dan dua saudara iparnya termasuk di antara mereka yang tewas.

Seorang sesepuh desa yang juga meninggalkan Nam Nein pada akhir Februari mengatakan kepada AP bahwa semua yang terbunuh di kompleks biara adalah warga sipil yang tetap tinggal untuk membantu merawat para biksu.

“Lebih dari 20 orang yang terbunuh di biara hanyalah penduduk desa kami. Mereka bukan anggota PDF, bukan tentara dan anggota PNO,” kata warga desa yang berbicara tanpa menyebut nama karena takut dihukum oleh pihak berwenang dan pasukan pro demokrasi setempat.

Manny Maung, peneliti Human Rights Watch, berspekulasi bahwa letak desa yang relatif dekat dengan ibu kota negara mungkin menyebabkan militer bertindak untuk mencegah aktivitas gerilya di daerah tersebut.

“Tidak mungkin bagi pemverifikasi independen atau peneliti independen untuk masuk. Namun, kejadian itu memiliki ciri klasik kekejaman militer,” katanya. “Saya pikir jika kita tidak mendapatkan kesempatan untuk masuk sekarang, kemungkinan besar kita tidak akan pernah tahu siapa pelaku sebenarnya," ujar Maung.

Halaman:

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Muhammad Syahrianto

Advertisement

Bagikan Artikel: