Perppu Ciptaker Disahkan Jadi UU, Denny: Mayoritas Hakim Konstitusinya Telah Tersandera
Sidang Paripurna DPR menyetujui Perppu Ciptaker menjadi Undang-Undang. Kemarin, pengubahan putusan MK oleh Hakim Guntur Hamzah hanya diberikan sanksi ringan teguran tertulis.
Sebelumnya, wacana penundaan pemilu ataupun tiga periode masa jabatan presiden dibiarkan atas nama kebebasan berpendapat.
Menanggapi hal itu pakar hukum tata negara Denny Indrayana menilai Penerbitan Perppu Ciptaker sendiri, sudah cacat sejak kelahirannya. Di samping tidak bisa menghadirkan argumentasi yang kokoh atas syarat konstitusional.
"Kegentingan yang memaksa”, DPR akhirnya tidak memberikan persetujuan sebagaimana diatur dalam konstitusi. Pasal 22 ayat (2) dan (3) UUD 1945 mensyaratkan perppu harus disetujui DPR pada masa sidang berikutnya, dan harus dicabut jika tidak mendapatkan persetujuan DPR. Masa sidang berikutnya, berdasarkan Penjelasan Pasal 52 UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP) adalah, “…masa sidang pertama DPR setelah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang ditetapkan”.
"Itu artinya sudah dilewati pada tanggal 16 Februari 2023 yang lalu. Dengan menyetujui Perppu Ciptaker pada masa sidang DPR sekarang, Presiden dan DPR nyata-nyata melanggar norma UU PPP yang mereka buat sendiri, dan yang lebih membahayakan, dengan ringan tangan melanggar ketentuan UUD 1945," kata Denny.
Sayangnya, pelanggaran terang-terangan konstitusi berjamaah oleh Presiden dan DPR itu, realitasnya akan sulit untuk dikoreksi. Secara tata negara, koreksi konstitusional harusnya dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi, yang normalnya mengatakan Perppu Ciptaker tidak mematuhi putusan MK soal UU Ciptaker. Lebih jauh, Perppu Ciptaker harus dicabut karena tidak memenuhi tiga syarat konstitusional, yaitu: a) syarat kondisi kegentingan yang memaksa; b) syarat waktu HARUS disetujui DPR pada masa sidang berikutnya; dan c) syarat HARUS dicabut jika tidak mendapat persetujuan DPR tersebut.
"Tapi saya terus terang tidak yakin atas independensi dan integritas mayoritas hakim konstitusi. MK sekarang – sebagaimana pula KPK – sudah dikerdilkan dan mudah diintervensi dengan pertimbangan dan kepentingan non-konstitusi.
Hukuman sanksi ringan teguran tertulis kepada Hakim Guntur Hamzah, atas kesalahan yang sangat fundamental, yaitu mengubah putusan MK, adalah indikasi kuat, bahwa hukuman ringan itu merupakan tukar-guling untuk Hakim Guntur untuk memutus perkara di MK sesuai kepentingan kekuasaan yang melindunginya.
Sejak pengubahan UU MK, yang memperpanjang masa jabatan hakim MK selama 15 tahun atau hingga usia 70 tahun, para hakim sebenarnya telah mendapatkan gratifikasi jabatan, dan mulai kehilangan moralitasnya sebagai negarawan.
Ditambah dengan pemberhentian sewenang-wenang kepada Hakim Aswanto, MK semakin kehilangan independensinya. Maka, berharap banyak untuk MK menunjukkan wibawanya sebagai pengawal konstitusi, saya khawatir, ibarat punguk merindukan bulan.
Denny memprediksi, MK tidak akan tegas dan berani membatalkan Perppu Ciptaker.
"Mayoritas hakim konstitusinya telah tersandera, dengan gratifikasi masa jabatan, dan keinginan untuk tetap bertahan dan tidak diberhentikan dari kursi empuk Mahkamah Konstitusi,"
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat
Tag Terkait:
Advertisement