Ketua MPR RI, Bambang Soesatyo, menegaskan bahwa Indonesia tidak boleh jadi negara yang gagal dan mengalami kebangkrutan seperti halnya Srilangka dan Ghana. Tidak boleh juga seperti tiga negara lainnya yang saat ini terancam sebagai negara gagal, yakni Pakistan, Mesir, dan Bangladesh.
Indonesia juga tidak boleh terancam mengalami krisis perekonomian, khususnya krisis keuangan yang dikategorikan sebagai kahar fiskal. Oleh sebab itu, Indonesia perlu menghadirkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) sebagai produk hukum yang dapat mencegah sekaligus menjadi solusi mengatasi persoalan yang dihadapi oleh negara.
Baca Juga: Istri Pimpinan MPR Bagikan 270 Paket Sembako bagi Pegawai Pemerintah Non-Pegawai Negeri
"Kehadiran PPHN juga untuk menjamin kesinambungan pembangunan, khususnya pembangunan jangka panjang yang akan melampaui beberapa periode pemerintahan," ujar Bamsoet dalam keterangan tertulisnya, Rabu (29/3/2023).
Dia menjelaskan, ada beberapa cara menghadirkan PPHN. Pertama dengan amendemen terbatas, yaitu perubahan terbatas UUD 1945 khususnya Pasal 2 dan Pasal 3 Ayat (1) UUD 1945, yang memasukkan substansi kewenangan MPR menyusun PPHN dan pengawasan pelaksanaan PPHN oleh DPR.
Kedua, tanpa amendemen dengan cara mengubah UU. No. 12 Tahun 2011 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
"Caranya dengan memasukkan substansi mengenai kedudukan TAP MPR RI sebagai peraturan perundang-undangan yang bersifat mengatur yang dapat dibentuk oleh MPR RI dalam rangka pengaturan mengenai PPHN," kata Bamsoet.
Dia mengatakan, cara ketiga dengan mengubah UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir dengan UU No. 13 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga Atas UU No. 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Perubahan dilakukan untuk memasukkan substansi mengenai kewenangan MPR RI membentuk PPHN dengan produk hukum berupa TAP MPR.
"Keempat, PPHN ditetapkan dalam sebuah undang-undang yang mencabut UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional," papar Bamsoet.
Dia menilai PPHN sebagai konvensi ketatanegaraan tanpa melalui perubahan produk hukum sebagaimana dalam berbagai poin sebelumnya. Artinya, PPHN bisa dihadirkan tanpa perlu khawatir bakal membuka kotak pandora yang bisa memantik terjadinya amendemen pasal-pasal lain dalam konstitusi, utamanya terkait perpanjangan masa jabatan presiden yang selalu menyulut gaduh politik.
"Dari lima konsep di atas, konsep kedua dan kelima merupakan konsep terbaik. Karena, judicial review dengan mengembalikan kewenangan MPR mengeluarkan TAP baru yang bersifat mengatur atau regeling dan konvensi ketatanegaraan merupakan sumber hukum tata negara yang memiliki kekuatan hukum mengikat dalam praktik berhukum di Indonesia maupun di dunia internasional," tandas Bamsoet.
Baca Juga: Bamsoet Soal Platform Digital: Sering Digunakan untuk Melawan Negara dan Pemerintah
Dia menegaskan, pengawasan pelaksanaan PPHN dapat dilakukan sesuai sistem ketatanegaraan menurut UUD NRI Tahun 1945. Mekanismenya dapat dilakukan oleh DPR RI berupa pengembalian RUU APBN untuk diperbaiki oleh pemerintah manakala tidak sesuai dengan PPHN.
"Misalnya, presiden yang menggantikan Presiden Joko Widodo dalam RUU APBN mendatang tidak memasukan anggaran untuk pembangunan Ibu Kota Nusantara, maka DPR RI bisa mengembalikan RUU APBN tersebut. Karena tidak sesuai dengan PPHN yang di dalamnya turut mengatur tentang pembangunan dan pemindahan Ibu Kota Negara dari DKI Jakarta ke Ibukota Nusantara di Kalimantan Timur," tandasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Andi Hidayat
Editor: Puri Mei Setyaningrum
Tag Terkait:
Advertisement