Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) yang melibatkan pemerintah Tiongkok kini tengah menjadi sorotan. Pasalnya, pemerintah Negeri Tirai Bambu itu meminta Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dijadikan jaminan untuk proyek tersebut dan adanya rencana untuk melakukan penambahan utang sebesar Rp8,3 triliun.
Menanggapi hal tersebut, Sekretaris Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Achmad Baidowi, meminta pemerintah untuk memberikan perhatian serius. Selain karena adanya permintaan untuk menjadikan APBN sebagai jaminan, pihak konsorsium Kereta Cepat juga meminta konsesi proyek diperpanjang hingga 80 tahun.
Padahal, dikatakan Baidowi, penggunaan jaminan APBN dan perpanjangan konsesi memiliki beberapa risiko terhadap keuangan negara karena sejumlah faktor utama. Baidowi mengatakan, kenaikan biaya konstruksi atau cost overrun terjadi akibat perencanaan proyek yang kurang matang sehingga selama proyek dijalankan terdapat kenaikan biaya bunga, biaya tenaga kerja, hingga biaya pembebasan lahan.
Baca Juga: Cina Minta APBN Jadi Jaminan Proyek KCJB, Irwan Fecho: Harus Ditolak!
"Kondisi tersebut seharusnya sudah tercermin pada saat uji kelayakan proyek dilakukan. Kesalahan dalam perencanaan, tidak bisa hanya dibebankan kepada pihak BUMN dan pemerintah Indonesia," kata Baidowi belum lama ini.
Faktor kedua adalah proyek KCJB secara finansial memiliki masa pengembalian investasi yang cukup panjang. Bagi APBN, tentu bukan saja masa konstruksi yang menimbulkan beban, namun pada saat kereta resmi beroperasi, beban operator bisa ikut menjadi tanggungan APBN.
Apalagi, lanjut Baidowi, permintaan konsesi 80 tahun yang berarti utang akan jadi tanggungan APBN jangka panjang.
“Kami meminta agar pemerintah waspada terhadap skenario debt trap atau jebakan utang di mana proyek yang membebani BUMN dan anggaran negara sengaja diciptakan dengan skenario tertentu oleh pihak kreditur sehingga pengelolaan aset strategis nasional pindah ke tangan asing," kata Baidowi.
Anggota Komisi VI DPR ini mengatakan penjaminan utang dengan skema APBN bukan solusi ideal saat ini. Diketahui bersama bahwa APBN sedang mengejar target defisit wajib kembali ke bawah 3% sebelum 2024, sementara belanja perlindungan sosial, pengendalian inflasi, belanja pendidikan dan belanja rutin wajib diprioritaskan pemerintah.
Baidowi berujar, ruang fiskal jelas akan semakin tertekan jika utang KCJB dijaminkan APBN, meski bentuknya penjaminan tetap ada risiko APBN yang terlibat dalam pembayaran bunga dan cicilan pokok apabila konsorsium Kereta Cepat mengalami kesulitan pembayaran utang.
"Keempat, proyek Kereta Cepat awalnya adalah business to business sehingga permasalahan pembengkakan biaya selama proyek berjalan dapat diselesaikan dengan mekanisme bisnis, bukan melibatkan APBN yang notabene hasil pungutan pajak masyarakat," kata Baidowi.
Faktor kelima yang harus juga disorot adalah dari sisi calon penumpang. Baidowi mengatakan, calon penumpang Kereta Cepat adalah masyarakat berpendapatan menengah ke atas yang bukan termasuk kedalam sasaran subsidi APBN.
"Sebagai informasi, rencana harga tiket Kereta Cepat berkisar Rp125 ribu untuk rute terdekat dan Rp250 ribu untuk rute terjauh. Jika Kereta Cepat menggunakan skema penjaminan APBN, timbul pertanyaan apakah penjaminan tersebut tepat sasaran?" kata Baidowi.
Baca Juga: Bunga Utang KCJB Mentok 3,4 Persen, Said Didu: Fakta Jebakan China Sudah Terjadi
Pemerintah Tiongkok Mau APBN
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Indonesia, Luhut Binsar Pandjaitan, mengungkapkan bahwa pemerintah Tiongkok tetap menginginkan APBN menjadi jaminan atas pemberian utang mereka terhadap proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB).
Alih-alih menerima, Menko Luhut langsung menolak permintaan negeri tirai bambu tersebut.
"Memang masih ada masalah psikologis ya, jadi mereka maunya dari APBN. Tapi kita jelaskan prosedurnya akan panjang," kata Luhut beberapa waktu lalu.
Baca Juga: China Minta APBN Jadi Jaminan Utang KCJB, Bakri: Pemerintah Harus Tegas!
Luhut pun merekomendasikan penjaminan dilakukan melalui PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia (Persero) alias PII.
"Kami dorong melalui PT PII karena ini struktur yang baru dibuat pemerintah Indonesia sejak 2018," kata Luhut.
Di lain sisi, Luhut menyebut Tiongkok hanya mau menurunkan bunga utang kereta cepat dari 4 persen ke level 3,4 persen. Luhut menyebut bunga utang tersebut masih terlalu tinggi dan pemerintah ingin bunga utang bisa turun sampai 2 persen.
Meski bunga masih cukup tinggi, Luhut mengatakan pemerintah tak masalah. Menurutnya, pemerintah bakal tetap membayarnya karena bunga itu sudah lebih baik dari bunga pinjaman luar negeri lainnya.
"Karena kalau kamu pinjam ke luar juga bunganya sekarang bisa 6 persen juga. Jadi 3,4 persen misalnya sampai situ, we are doing ok walaupun nggak oke-oke amat," kata Luhut.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Yohanna Valerie Immanuella
Tag Terkait:
Advertisement