Tingkat Bunga Pinjaman Capai 3,4%, China Ragu Indonesia Bisa Urus Kereta Cepat?
Selain direpotkan dengan biaya pembangunan yang membengkak hampir senilai Rp18 triliun, kini pemerintah harus menghadapi suku bunga pinjaman dari China yang mencapai 3,4%.
Padahal, pemerintah melalui Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan telah berupaya bernegosiasi dengan Pemerintah China untuk menurunkan tingkat bunga menjadi 2%.
Menanggapi hal tersebut, Direktur Eksekutif Institute For Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad kemudian memaparkan dua alasan kenapa tingkat bunga yang diberikan oleh China relatif tinggi.
Baca Juga: Jaminan APBN atas Utang Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung Harus Ditolak
Pertama, menurutnya, tingkat bunga menceriman tingkat risiko dari proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB) itu sendiri. Hal ini mengingat tingkat bisnis yang cukup panjang dari proyek ini yang mencapai 80 tahun. Kedua, ia menduga bahwa China meragukan komitmen dari perusahaan BUMN yang terlibat dalam konsorsium untuk skema pembayaran jangka menengah maupun panjang. Dengan demikian, menurutnya, merupakan hal yang rasional bagi China untuk memberikan tingkat bunga 3,4%.
“Saya kira memang dua alasan itu yang kemudian menjadi dasar dalam mengoperasikan ini (kereta cepat) nantinya. Termasuk nanti ada cost yang kemungkinan meleset dari katakanlah asumsi-asumsi yang dibangun, misalnya tingkat okupansi penumpang, biaya pemeliharaan yang membengkak, dan lain sebagainya. Itu mungkin risiko yang sudah dipertimbangkan oleh pemerintah China,” ungkap Tauhid Ahmad saat berdiskusi dengan CNN Indonesia.
Tauhid Ahmad juga menambahkan bahwa tingkat bunga proyek kereta cepat ini memang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara lain, misalnya seperti Sri Lanka di angka 2% dengan periode waktu 20 tahun dan Jepang yang ada di angka 0,55% sampai 1,5% dengan periode waktu 20 tahun.
“Mau tidak mau pemerintah harus melobi tingkat bunga ini,” tuturnya.
Sementara itu, terkait dengan alasan China meminta untuk membebankan utang proyek kereta cepat ke dalam APBN, ia menjelaskan bahwa APBN hanya jalan keluar satu-satunya apabila laporan keuangan tiap tahunnya tidak sesuai dari prediksi.
Ia juga menjabarkan bahwa Indonesia belum bisa dibilang ‘terjebak’ dalam perangkap utang China. Pasalnya, apabila APBN tidak sanggup lagi membayar utang, maka hal tersebutlah yang dikategorikan sebagai jebakan utang. Jebakan utang hanya terjadi apabila secara bisnis proyek ini tidak terlalu menguntungkan dalam jangka pendek dan menengah, maka kemudian dikompensasi dengan biaya bunga yang berasal dari APBN.
“Saya kira memang perlu mengkritisi terhadap proyeknya, termasuk tadi tingkat bunga yang menurut saya bisa dilobi pada level yang lebih rendah.”
Ia lebih lanjut menyatakan bahwa jika ditimbang dari pinjaman melalui obligasi negara yang bisa mencapai 6-7%, tingkat suku bunga pinjaman dari China memang relatif lebih murah.
Dengan mengingat bahwa payback period (balik modal) proyek yang bisa mencapai 60 sampai 80 tahun, ia mengatakan bahwa periode tersebut terlalu lama dan harus ditekan lagi sampai 50 tahun.
Selain dari efisiensi okupansi penumpang yang tinggi, Tauhid Ahmad kemudian menyarankan manajemen proyek kereta cepat agar bisa menghasilkan pendapatan layak di luar tiket dengan tujuan untuk membantu operasional bisnis dan pembayaran tingkat bunga pinjaman.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Novri Ramadhan Rambe
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait:
Advertisement