Pengamat Tegaskan Pemerintah Harus Tolak Keinginan China Minta APBN Indonesia Jadi Jaminan Kereta Cepat
Proyek kereta cepat Jakarta-Bandung menurut Achmad Nur Hidayat selaku Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik Narasi Institute semakin hari semakin memperlihatkan betapa serampangannya Pemerintahan Jokowi dalam membuat kebijakan.
China Development Bank (CDB) diketahui menetapkan interest rate atau tingkat suku bunga sebesar 3,4% atas pinjaman Rp8,3 triliun yang diajukan pemerintah Indonesia untuk membiayai proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung .
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengungkapkan bahwa saat ini Pemerintah Indonesia masih terus bernegosiasi terkait dengan tingkat suku bunga pinjaman tersebut.
Baca Juga: Basis Loyalis Jokowi Ternyata Lebih Pilih Sosok Ini Dibanding Prabowo, Benar-benar ‘Anak Emas’
“CDB meminta pembayaran utang tersebut dilakukan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Jika permintaan ini disanggupi maka ini berbahaya bagi negara,” kata Achmad.
“Jika CDB meminta hal tersebut pemerintah tidak boleh seenaknya menyanggupi karena rakyat yang akan menanggung bebannya, untuk itu MPR harus mengadakan sidang MPR sebagai bentuk izin kepada rakyat,” tambahnya.
“Jika APBN dijadikan jaminan tambalan pembiayaan bagi proyek yang kontroversial ini maka akan sangat banyak program yang semestinya diprioritaskan menjadi tidak terbiayai,” jelasnya.
Dia juga menambahkan, dengan beban fiskal yang besar dan menjadi beban dalam waktu yang panjang maka akan membuat kondisi ekonomi Indonesia semakin terpuruk.
Hal ini sudah diperingatkan oleh Ignasius Jonan ketika menjadi menteri Perhubungan yang meminta agar tidak ada pembangunan kereta cepat di Pulau Jawa walaupun pinjaman luar negeri yang disampaikan dalam rapat bersama DPR di Jakarta, Rabu (21/1/2015).
“Sangat miris jika negara ini dikelola oleh SDM yang tidak mumpuni sehingga membuat bangsa ini tampak konyol dalam proyek kontroversial ini,” katanya.
“Bagaimana tidak? Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung yang mulanya diperkirakan akan menelan biaya Rp86,67 triliun ternyata terjadi pembengkakan atau kelebihan biaya (cost overrun) menjadi Rp114,24 triliun pada tahun 2021,” jelasnya.
“Kemudian naik lagi menjadi 131 triliun dan sekarang ada tambahan lagi sebesar US$1,2 miliar atau sekitar Rp18,24 triliun (asumsi kurs Rp15.200 per dolar AS),” ungkapnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Sabrina Mulia Rhamadanty
Editor: Sabrina Mulia Rhamadanty
Advertisement