Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Ancaman Pembunuhan seperti yang Dilontarkan Peneliti BRIN Tak Bisa Dianggap Angin Lalu, Pakar Psikologi Forensik Beber Bahayanya

Ancaman Pembunuhan seperti yang Dilontarkan Peneliti BRIN Tak Bisa Dianggap Angin Lalu, Pakar Psikologi Forensik Beber Bahayanya Andi Pangerang Hasanuddin | Kredit Foto: Dokumen Pribadi

Dalam situasi hate crime, kata Reza, para korban tidak sebatas direct victim, tetapi bahkan mencakup vicarious victims alias masyarakat. Kendati 'sebatas' vicarious, reaksi psikis mereka serupa dengan direct victim: takut, marah, terguncang.

"Dengan skala korban sedemikian luas, 46 negara bagian, Distrik Columbia, dan 2 teritori Amerika Serikat mengadakan hukuman yang diperberat bagi pelaku hate crime," ucapnya.

Baca Juga: Garang Teriak 'Halalkan Darah' Warga Muhammadiyah, Begini Alasan Peneliti BRIN Andi Pangerang Hasanuddin

Reza membeberkan bahwa pada kenyataannya, sekitar setengah dari seluruh korban hate crime tidak melaporkan peristiwa dimaksud kepada kepolisian. Dari total yang dilaporkan pun tidak banyak yang berlanjut ke proses litigasi.

Dari situ terlihat betapa mereka yang merasa telah menjadi korban hate crime justru diperlakukan kurang sebagaimana mestinya. Akibatnya, kian hari jumlah laporan pun kian menurun.

"Inilah yang mendorong sekian banyak institusi kepolisian berupaya menyemangati masyarakat untuk melaporkan hate crime yang terjadi di tengah-tengah mereka," tuturnya.

Polisi Tetap Harus Turun Tangan

Reza mengatakan andaipun pelaku pengancaman telah menyatakan permohonan maafnya. Namun, polisi tetap perlu turun tangan. Dengan demikian, masyarakat dan warganet, terlebih kalangan yang menjadi sasaran ancaman pembunuhan, dapat menyaksikan bagaimana orang yang telah berbuat buruk itu dituntut bertanggung jawab oleh negara.

Begitu pula, meski sejauh ini ancaman pembunuhan itu belum mewujud sebagai aksi pembunuhan, perbuatan menebar ancaman itu tetap mesti tercatat dalam rekam kriminalitas yang bersangkutan sehingga sekiranya pelaku nantinya mengulangi perbuatan tersebut, kata Reza, yang bersangkutan sudah dapat dikategori sebagai pelaku residivisme.

Residivisme yang dimaksud Reza tidak dihitung berdasarkan frekuensi masuknya pelaku ke dalam penjara, melainkan berdasarkan pemeriksaan (re-contact) atau bahkan penahanan (re-arrest) oleh kepolisian.

Keseriusan nyata oleh otoritas penegakan hukum seperti itulah menurut Reza yang diharapkan akan memunculkan efek jera pada diri yang bersangkutan. "Tentu tidak cukup terhadap pelaku. Para korban juga harus diberikan jaminan keamanan oleh otoritas terkait agar terhindar dari eskalasi ancaman pembunuhan tadi," ujar Reza Indragiri.

Halaman:

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Puri Mei Setyaningrum

Advertisement

Bagikan Artikel: