Kebijakan pemerintah selama ini terkait transisi energi dinilai masih jauh belum memadai bahkan memiliki sejumlah catatan. Salah satunya pensiun dini pembangkit listrik berbasis batubara (PLTU).
Andri Prasetiyo dari Trend Asia mengungkapkan saat ini, mayoritas jaringan listrik Indonesia berada dalam kondisi kelebihan pasokan (oversupply). Jaringan Jawa-Bali oversupply sejumlah 30%, bahkan jaringan Sulawesi mengalami kelebihan kapasitas terpasang hingga 69%.
Kondisi tersebut membebani keuangan PLN yang tetap harus membeli kelebihan listrik. Kondisi ini buruk bagi iklim dan emisi karbon mengingat setengah dari bauran listrik ini berasal dari batu bara.
“Untuk menyelesaikan masalah ini, pemerintah Indonesia seharusnya lebih progresif dalam membentuk kebijakan energi demi memenuhi target 1,5o C, salah satunya dengan melakukan mempercepat pemensiunan dini PLTU batubara,” tutur Andri di Jakarta, kemarin.
Namun, alih-alih menuntaskan pemerintah malah merencanakan peningkatan porsi batubara dan energi fosil lain dalam bauran listrik Indonesia pada RUPTL (Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik). Pemerintah merencanakan 40,6 GW listrik fosil untuk komersialisasi antara tahun 2021 dan 2030, dari jumlah tersebut,34% di antaranya yaitu 13,8 GW berasal dari batu bara dan 14% 5,8 GW dari gas dan diesel.
Rencana transisi energi Indonesia juga masih dipenuhi dengan ambiguitas. Dalam RUPTL yang diterbitkan pada tahun 2021 dan disebut sebagai “RUPTL hijau”, dari usulan 40,6 GW yang teridentifikasi untuk memenuhi permintaan listrik di masa mendatang 50% di antaranya masih menggunakan bahan bakar fosil.
Meski Presiden Jokowi menekankan bahwa pemerintah “melarang dan membatalkan” PLTU baru kecuali mereka telah mendapatkan persetujuan keuangan atau sedang dalam tahap konstruksi, beberapa pembangkit listrik dengan status PPA (Power Purchase Agreement) dan tanggal operasi komersial (COD) pada tahun 2024 atau lebih tidak dibatalkan dalam RUPTL 2021-2030.
Namun, yang dilakukan PLN malah mempercepat proyek Fast Track Program (FTP) 1, FTP 2, dan megaproyek 35 GW. Dari megaproyek 35 GW itu, 70% di antaranya merupakan usulan pembangkit batubara, termasuk PLTU yang belum mendapat persetujuan finansial.
“Berdasarkan temuan kami, komitmen dari pemerintah Indonesia masih lemah, meskipun menggunakan teknologi ‘baru’ tapi berpotensi menjadi solusi palsu dan tak menyelesaikan masalah transisi energi di Indonesia,”tegasnya.
Strategi lain yang digunakan PLN dalam RUPTL 2021-2030 adalah co-firing biomassa, tapi strategi ini tak akan memenuhi angka penurunan emisi gas rumah kaca karena porsi biomassa untuk bahan bakar hanya 1-5% dan 95% sisanya masih menggunakan batubara.
Selain itu, permintaan biomassa ini menyebabkan penebangan pohon berlebihan yang justru memicu emisi tambahan dari deforestasi atau pembukaan lahan baru.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Boyke P. Siregar
Editor: Boyke P. Siregar
Tag Terkait:
Advertisement