Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Parah! Mantan Pendukung Jokowi Sebut Ada Pejabat Setingkat Menteri Tak Diundang Rapat Kabinet karena Dukung Anies Baswedan Ketimbang Ahok!

Parah! Mantan Pendukung Jokowi Sebut Ada Pejabat Setingkat Menteri Tak Diundang Rapat Kabinet karena Dukung Anies Baswedan Ketimbang Ahok! Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Guru Besar Hukum Tata Negara, Prof Denny Indrayana dalam analisa panjangnya membeberkan bagaimana gelagat Presiden Jokowi dalam menunjukkan keberpihakan saat kontestasi pemilihan kepala daerah. Dalam hal ini, adalah Pilkada DKI Jakarta 2017 di mana terjadi pemilihan antara Anies Baswedan dan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) yang didukung Jokowi.

Awalnya, Denny menyoroti Jokowi yang mengklaim tidak “cawe-cawe” atau ikut campur dalam Pilpres 2024. Padahal menurut Denny, sejumlah manuver Jokowi seperti tidak mengundang Surya Paloh ke acara Ketum Parpol pro pemerintah ke Istana merupakan bukti Jokowi masih cawe-cawe.

“Berkali-kali Presiden Jokowi menyatakan urusan capres adalah ranah partai politik. Beliau tidak ikut cawe-cawe. Tetapi di balik layar, Presiden Jokowi aktif menggunakan pengaruh dan kewenangannya untuk mendukung Ganjar dan Prabowo, serta menjegal Anies,” ujar Denny dalam tulisannya yang dimuat di laman Intergity Law Firms, dikutip Minggu (7/5/23).

Baca Juga: Ahok Dibuat Keok, Profesor Mantan Pendukung Sebut Jokowi Tak Akan Membiarkan Anies Baswedan Menang Lagi di Pilpres 2024: 'Dia Mengambil...'

“Tidak mengundang Nasdem hanya salah satu bukti kuat bagaimana Presiden Jokowi menggunakan fasilitas negara (Istana Merdeka) untuk hanya mengundang para Ketum Partai yang satu kubu dengan politik partisannya,” tambahnya.

Menurut Denny, gelagat tak undang NasDem yang kini dianggap musuh bukanlah pada kesempatan di istana saja. Sebelumnya, di acara yang diselenggarakan Partai Amanat Nasional (PAN) di mana Surya Paloh tak hadir, para ketum parpol yang juga di acara tersebut dihadiri Jokowi menyuarakan soal koalisi besar istana.

Modus tak mengundang pihak yang dianggap lawan keinginan Jokowi ini menurut Denny juga terjadi pada konteks Pilgub DKI Jakarta, Anies Vs Ahok.

“Modus tidak mengundang juga dapat ditarik ke sejarah kompetisi Pilgub Jakarta 2017. Seorang pejabat setingkat menteri juga tidak lagi diundang ke rapat kabinet, karena mendukung Anies, bukan Ahok,” jelas Denny.

Baca Juga: Mencengangkan! Pak Pendeta Bongkar Kisah Anies Baswedan Buat Majelis Satu Gereja Menangis: Saya Emosional Juga Menceritakannya...

Denny yang tak menyebutkan nama dari pejabat yang dimaksud menggambarkan ulang bagaimana dialog Jokowi dengan sang pejabat.

Dari penggambaran tersebut, Jokowi mempertanyakan mengapa sang pejabat mendukung Anies padahal survei menempatkan Ahok di posisi pertama.

“Bapak mendukung siapa di Pilgub Jakarta”.

“Anies, Bapak Presiden”.

“Kenapa tidak Ahok? Kan survei-surveinya menang Ahok”.

“Ahok punya masalah dengan mulutnya Bapak Presiden”.

Menurutnya, setelah percakapan tersebut, sang pejabat tak lagi diajak Jokowi untuk ikut rapat kabinet.

“Setelah perbincangan itu, sang pejabat tidak lagi diundang rapat kabinet oleh Presiden Jokowi. Niatannya mengundurkan diri hanya urung terwujud karena seorang Menteri lingkaran istana tidak membawa surat pengunduran dirinya, sengaja meletakkan di meja ruang tamu rumahnya, sambil pura-pura pamit ke kamar kecil,” ungkapnya.

Jokowi Harus Netral: Punya Jabatan Publik

Menurut Denny, Jokowi sebagai pribadi tentu punya hak untuk punya preferensi dan mendukung calon tertentu. Masalahnya adalah Jokowi saat ini juga punya jabatan seorang presiden yang harus netral dan tidak boleh menunjukkan dukungan kepada pihak tertentu.

Baca Juga: Ajaib! Pengamat Ini Klaim 6 Bulan Kerja Heru Budi Bisa Selesaikan Bobroknya Kinerja Anies Baswedan Selama 5 Tahun di Jakarta

“Sebagai pejabat publik, politik presiden adalah untuk kepentingan publik. Politik institusional presiden, adalah politik kebangsaan. Politik yang didedikasikan hanya untuk Republik Indonesia. Politik untuk seluruh rakyat, tanpa kecuali, tanpa membedakan, tanpa diskriminasi,” ujar Denny.

“Politik institusional presiden tidak boleh partisan. Artinya, presiden tidak boleh berpolitik untuk tujuan sekelompok masyarakat ataupun partai politik pendukungnya saja,” tambahnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Bayu Muhardianto
Editor: Bayu Muhardianto

Advertisement

Bagikan Artikel: