Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

CEO Perusahaan Teknologi Asal Amerika Kuak Alasan Mass Layoff: Terlalu Memaksakan Diri...

CEO Perusahaan Teknologi Asal Amerika Kuak Alasan Mass Layoff: Terlalu Memaksakan Diri... Kredit Foto: Getty Images/Mario Tama
Warta Ekonomi, Washington -

Di tengah gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran di industri teknologi selama setahun terakhir, seorang CEO justru sedang dalam mode perekrutan.

Fred Voccola, CEO perusahaan perangkat lunak yang berbasis di Miami, Kaseya, dalam acara "The Big Money Show, Selasa (16/5/2023), membahas mengapa industri ini sedang berjuang. Selain itu, ia menerangkan bagaimana bisnisnya menghindari PHK. 

Baca Juga: Dahulu Bernilai 5,7 Miliar Dolar, Vice Media Group Kini Bangkrut Gegara Fenomena Dahsyat Ini

"Apa yang kami temukan di sektor teknologi adalah banyak perusahaan teknologi yang terlalu memaksakan diri. Dan alasan utamanya adalah pelanggan mereka," kata Voccola kepada Brian Brenberg dari FOX Business

"Sebagian besar pembeli teknologi, jika Anda berpikir tentang LinkedIn atau Microsoft atau Facebook, sebagian besar pelanggan mereka adalah perusahaan-perusahaan besar. Dan perusahaan-perusahaan tersebut telah menghabiskan 15 tahun terakhir untuk mentransformasi diri mereka secara digital atau menginvestasikan uang dalam jumlah besar untuk menjadikan mereka perusahaan yang mengutamakan digital," jelasnya.

"Kita berada di akhir tahap itu sekarang. Jadi perusahaan-perusahaan teknologi belum menyesuaikan OpEx atau pengeluaran mereka dengan baik untuk memperhitungkan hal tersebut. Jadi mereka melihat adanya perlambatan pengeluaran dari pelanggan mereka, dan mereka menyadari bahwa mereka sudah berlebihan. Jadi mereka mengurangi pengeluaran dengan cukup agresif," papar Voccola.

PHK massal di perusahaan-perusahaan seperti Amazon, Meta, Salesforce, dan yang terbaru adalah LinkedIn mengguncang sektor teknologi pada tahun lalu, menyebabkan ribuan orang kehilangan tempat kerja.

Voccola percaya bahwa sebagian dari masalahnya terletak pada biaya tenaga kerja. Menurut Indeks Biaya Tenaga Kerja (ECI), biaya tenaga kerja AS naik 1,2% pada kuartal pertama 2023 dan 4,8% dari tahun ke tahun dari Maret 2022 hingga Maret 2023. 

"Dalam sembilan bulan terakhir, mereka [biaya tenaga kerja] masih naik. Saya pikir kita akan melihat mereka naik untuk satu atau dua tahun ke depan. Biaya tenaga kerja cukup tinggi," katanya.

Namun, beberapa wilayah tertentu di AS, termasuk Florida Selatan di mana perusahaannya berkantor pusat, tidak mengalami kenaikan biaya tenaga kerja yang cepat, kata Voccola.  

"Tergantung pada lokasi geografis di mana orang-orang berada, tingkat kenaikannya lebih lambat. Sebagai contoh, di Silicon Valley, tingkat kenaikannya sangat tinggi. Kami adalah perusahaan yang berbasis di Miami, jadi kami memiliki tingkat upah tenaga kerja yang lebih masuk akal. Namun, tingkat upah tenaga kerja masih terus meningkat."

Voccola kemudian menjelaskan bahwa ia memindahkan perusahaan dari California ke Miami yang "sangat ramah bisnis" di mana perusahaan ini telah berkembang untuk melakukan bisnis di lebih dari 10 negara. 

"Anda memiliki tenaga kerja yang sangat termotivasi dan tenaga kerja yang sangat hemat biaya serta kondisi bisnis yang bagus," katanya.

Meskipun pandemi mengubah dinamika kantor, CEO mengatakan bahwa ia tetap mempertahankan tempat kerja di kantor. 

"Hal ini membangun budaya untuk mencapai tujuan," ujar Voccola.

"Tujuan bersama saat Anda berada di sekitar kolega Anda setiap hari, alih-alih menatap layar monitor di ruang tamu, mencuci pakaian di sela-sela rapat, memungkinkan Anda untuk lebih fokus pada tugas yang sedang dikerjakan," pungkasnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Muhammad Syahrianto

Advertisement

Bagikan Artikel: