Bergesernya Pusat Gravitasi Ekonomi ke Timur Bikin Dana Moneter Asia Makin Masuk Akal, Waktunya Tiba untuk Dedolarisasi?
Dana Moneter Asia adalah sebuah ide yang pertama kali diusulkan oleh Jepang pada tahun 1997 setelah krisis keuangan Asia. Pada saat itu, Anwar Ibrahim, seorang bintang yang sedang naik daun di dunia politik Malaysia, dengan tegas mendukung proposal ini. Setelah 26 tahun yang penuh gejolak, terutama bagi Anwar, ide ini kembali muncul.
Dalam sebuah kunjungan ke China bulan lalu, Anwar, yang kini menjabat sebagai Perdana Menteri Malaysia, mendapat dukungan dari Presiden Xi Jinping untuk menghidupkan kembali rencana pembentukan lembaga keuangan multilateral yang berpusat di Asia.
Baca Juga: Meski Dedolarisasi Menggema, Tapi Banyak Pelaku Usaha Enggan Tinggalkan Dolar AS, Kok Bisa?
Dua puluh enam tahun yang lalu, rencana seperti itu mungkin terlalu dini. Banyak hal telah berubah sejak saat itu. China adalah raksasa ekonomi, ekonomi terbesar kedua di dunia. India, negara dengan ekonomi terbesar keenam saat ini, diperkirakan akan naik ke peringkat ketiga dalam tujuh tahun, hanya di bawah Amerika Serikat.
Mengutip laman Lowy Institute, pergeseran pusat gravitasi ekonomi ke arah timur pada tahun 2030 membuat Dana Moneter Asia menjadi masuk akal. Jika China dapat mendirikan Bank Investasi Infrastruktur Asia (AIIB), masuk akal jika China ingin mendirikan sebuah institusi regional yang dapat melengkapi Dana Moneter Internasional (IMF), yang dianggap didominasi oleh negara-negara Barat. China ingin menegaskan kepemimpinannya di bagian dunia ini.
Bagian dari permainan kepemimpinan ini adalah menyediakan jalur penyelamat bagi negara-negara yang mengalami kesulitan ekonomi. Menggantikan hegemoni global juga akan membutuhkan dukungan yuan sebagai mata uang cadangan, menghilangkan status dolar sebagai satu-satunya pilar kekuatan di kawasan ini.
Seiring dengan meningkatnya popularitas China, dan mengambil peran yang lebih sentral, masuk akal jika China juga akan memiliki suara yang lebih besar dalam arsitektur keuangan Asia.
Anwar melihat peran untuk dirinya sendiri dalam permainan singgasana ini.
Jika Dana Moneter Asia tampak seperti ide yang jauh, tidak ada yang lebih jauh daripada keyakinan bahwa waktunya telah tiba untuk dedolarisasi. Di sini Anwar telah mencocokkan pembicaraannya dengan tindakan. Baru-baru ini, Malaysia telah memutuskan bahwa perdagangan dengan India dapat diselesaikan dalam mata uang kedua negara. Keputusan ini dibuat tanpa banyak gembar-gembor, kecuali pengumuman yang agak lamban dan birokratis oleh Kedutaan Besar India di Kuala Lumpur.
Sebagai orang yang berada di tepi krisis keuangan Asia tahun 1997, dan yang nasibnya sendiri, mungkin, disegel karena pandangannya yang berlawanan tentang bagaimana Malaysia harus merespons, Anwar harus memiliki posisi yang pasti tentang apa yang harus dilakukan untuk menstabilkan wilayah ini di tengah gejolak ekonomi saat ini.
Yang paling utama dalam pikiran Anwar adalah keinginan untuk memulihkan stabilitas keuangan di kawasan ini dan untuk melindungi kawasan ini dari gejolak-gejolak yang berawal dari Amerika Serikat, seperti yang terjadi pada krisis tahun 2008.
Jalan menuju Dana Moneter Asia mungkin bukannya tanpa rintangan.
Indonesia, misalnya, tidak seantusias Malaysia dalam menyikapi ide ini. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Indonesia Airlangga Hartarto menyebutkan kesulitan untuk mendapatkan persetujuan dari negara-negara anggota ASEAN sebagai salah satu penghalang. Dia juga, secara pragmatis, menunjukkan bahwa membuat negara-negara anggota berkomitmen untuk memberikan pendanaan mungkin tidak mudah.
Meskipun IMF mungkin memiliki kekurangan, membentuk sebuah AMF akan menjadi tantangan karena gagasan umum tentang kepemimpinan. Amerika Serikat telah mengambil alih kepemimpinan ekonomi global, meskipun hal ini mungkin akan dipertanyakan di tahun-tahun mendatang, namun tidak ada tanda-tanda bahwa Amerika akan melepaskan posisi tersebut.
Pada tahun 1998, setahun setelah Jepang pertama kali mengusulkan Dana Moneter Asia, pendiri Peterson Institute of International Economics, Fred Bergsten, dengan tegas menolak ide tersebut. Bergsten malah menyarankan modifikasi radikal terhadap proposal tersebut. Dia berpikir bahwa ide Jepang akan melemahkan kepemimpinan IMF dan akan menciptakan irisan antara Asia dan Amerika Utara. Dia menginginkan dana yang berfokus pada "Asia-Pasifik", yang akan membuat AS memainkan peran yang menentukan.
Dalam bukunya yang berjudul The United States vs China: The Quest for Global Economic Leadership, Bergsten membuat sebuah konsesi, dengan menyarankan agar kedua negara tersebut dapat berkolaborasi. Ini adalah jenis argumen yang dapat digunakan untuk mempromosikan peran Amerika Serikat dalam Dana Moneter Asia.
Dengan semua rintangan yang ada, Anwar mungkin akan lebih berhasil dalam mengkampanyekan dedolarisasi. China, Rusia, Brasil, dan Uni Eropa telah mencoba untuk beralih dari ketergantungan pada dollar.
Menteri Airlangga, telah menyatakan kekecewaannya bahwa bahkan dengan adanya mekanisme "penyelesaian mata uang lokal", transaksi-transaksi antara Indonesia dan China tidak selalu diselesaikan dengan metode ini.
Mimpi untuk membuat yuan menggantikan dolar mungkin membutuhkan waktu yang lama, terutama karena yuan menyumbang sekitar dua persen dari pembayaran global dan kurang dari tiga persen dari cadangan mata uang dunia. Bagaimanapun jalannya, internasionalisasi yuan akan menandai era baru bagi kepemimpinan ekonomi Asia. Dan Anwar ingin berada di barisan terdepan.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Muhammad Syahrianto
Advertisement