- Home
- /
- New Economy
- /
- Energi
PB PII Khawatir Transisi Energi Akan Mengulangi Praktik Bisnis Yang Tak Adil
Pengurus Besar Pelajar Islam Indonesia (PB PII) meminta negara-negara dunia khususnya Indonesia agar memproses seluruh dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh China.
Ketua PB PII Bidang Komunikasi Ummat, Furqan Raka mengatakan dari laporan sejumlah penelitian yang dimuat pada media massa menyebutkan jumlah dugaan pelanggaran tertinggi yang dilakukan China tercatat di Indonesia, yang memiliki cadangan nikel terbesar di dunia.
"Salah satu pelanggaran yang mengguncang bangsa kita yakni ekspor ilegal 5 ton nikel Indonesia ke China pada 2021-2022, yang diungkap langsung oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK),” kata Furqan Raka kepada wartawan, Jum’at, (14/7/2023).
Mengutip pernyataan Ketua Satgas Koordinasi Supervisi Wilayah V KPK Dian Patria, lanjut Furqan Raka, menyebut informasi ekspor ilegal ini berasal langsung dari Beijing, yakni dari Bea Cukai China.
Ekspor ilegal nikel terjadi di banyak negara.
"Di posisi selamjutnya, ada Peru, Kongo, Myanmar, dan Zimbabwe yang menjadi surga bagi Beijing untuk mengeksploitasi hasil bumi dengan membabi buta,” ungkap Furqan Raka.
Lebih dari 70 persen dugaan pelanggaran didokumentasikan di lima negara ini, antara lain dari sisi tata kelola yang lemah dan pelanggaran hak asasi manusia yang telah dilaporkan secara luas, namun terkesan hanya basa-basi mengingat China adalah mitra ekonomi utama negara-negara tersebut.
Temuan tersebut menggarisbawahi kekhawatiran yang berkembang bahwa transisi ke energi terbarukan, akan mengulangi praktik bisnis yang tidak adil yang telah lama mendominasi ekstraksi bahan bakar fosil dan mineral.
"China dikabarkan terus membeli tambang-tambang di luar negeri dan berinvestasi besar-besaran di negara-negara kaya mineral seperti Indonesia dan Zimbabwe,” ujar Furqan Raka.
PB PII menilai wajar jika para ahli dan negara-negara dunia melihat aksi sporadis Beijing memborong atau berinvestasi tambang di luar China, adalah langkah Tiongkok mendominasi rantai pasokan tambang dunia di masa yang akan datang, meskipun Amerika Serikat dan Eropa hingga saat ini terus berupaya untuk mendiversifikasi pasar.
"Di sisi lain, Ini juga menunjukkan bahwa perusahaan China gagal mematuhi komitmen Beijing tentang kebijakan transparansi dan hak asasi manusia,” jelas Furqan Raka.
PB PII menyebut pada Bulan Mei 2023 lalu, asosiasi bisnis industri pertambangan China telah membuat call center pengaduan dan pusat mediasi percontohan bagi masyarakat, pekerja, dan pemangku kepentingan lainnya untuk mengajukan keluhan terhadap perusahaan tambang Tiongkok.
"Akan tetapi, langkah dan mekanisme pengaduan pertama yang dibentuk oleh asosiasi industri China ini, belum berjalan efektif, apalagi sesuai dengan harapan masyarakat dan negara yang mereka eksploitasi tambangnya," pungkas Furqan Raka.
Ia juga menegaskan China kembali mendapat kecaman dunia karena diduga kuat telah melakukan sejumlah pelanggaran saat mengeksploitasi tambang beragam mineral dan energi di sejumlah negara.
Baru-baru ini, The Business & Human Rights Resource Centre (BHRRC) yang menjadi badan pengawas perusahaan yang melacak dampak lokal dari ribuan bisnis global, mengidentifikasi 102 dugaan pelanggaran pada tahun 2021 dan 2022 terkait dengan tambang China di 18 negara.
China disebut mendominasi proses dan pemurnian unsur litium, kobalt, tembaga, mangan, nikel, seng, kromium, aluminium, dan tanah jarang serta pembuatan teknologi seperti panel surya, turbin angin, dan baterai untuk kendaraan listrik (EV), yang membutuhkan disebut mineral transisi.
Tembaga adalah mineral yang paling sering dikaitkan dengan dugaan bahaya, diikuti oleh nikel. Pelanggaran termasuk pelanggaran hak adat, serangan terhadap pemimpin akar rumput, pencemaran air, perusakan ekosistem dan kondisi kerja yang tidak aman.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Ferry Hidayat
Tag Terkait:
Advertisement