Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Mengapa Bisnis Pertashop Buntung, Pertamini Justru Untung?

Mengapa Bisnis Pertashop Buntung, Pertamini Justru Untung? Kredit Foto: Antara/Basri Marzuki
Warta Ekonomi, Jakarta -

Demi menjangkau lebih banyak masyarakat yang membutuhkan bahan bakar minyak (BBM), PT Pertamina (Persero) menyediakan Pertamina Shop (Pertashop) dengan sistem franchise.

Pertashop merupakan lembaga penyalur dari Pertamina untuk menjangkau konsumen di daerah yang belum terlayani oleh lembaga penyalur BBM, seperti Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU).

Melansir situs Pertamina.com, Selasa (18/7/2023), skema bisnis Pertashop terbagi menjadi dua. Pertama, biaya investasi dan biaya operasi ditanggung oleh mitra, serta yang kedua biaya investasi ditanggung oleh Pertamina dan biaya operasi oleh mitra.

Baca Juga: Siasat Selamatkan Bisnis Pertashop, PKS: Ada Ide Pertashop Jual BBM RON 90 Nonsubsidi

Apabila biaya investasi dan operasi ditanggung oleh mitra diperkirakan biaya yang diperlukan sekitar Rp250 juta. Sementara apabila investasi ditanggung Pertamina, biayanya sekitar Rp80 juta. Produk ritel Pertamina yang tersedia di Pertashop antara lain, BBM nonsubsidi seperti Pertamax dan LPG nonsubsidi. 

Dengan margin yang terbilang kecil hanya sekitar Rp850 per liter, pengusaha bisnis ini rupanya tak mampu menuai untung, justru buntung. Berdasarkan data dari Ketua Umum Paguyuban Pengusaha Pertashop Jawa Tengah-Daerah Istimewa Yogyakarta (Jateng-DIY) Gunadi Broto Sudarmo, terdapat sebanyak 201 dari 448 pengusaha Pertashop yang mengalami kerugian akibat harga jual Pertamax dan Pertalite yang terlampau jauh.

"Dari 448 Pertashop itu ada 201 yang rugi. Pertashop yang tutup merasa terancam untuk disita asetnya karena tidak sanggup untuk (membayar) angsuran bulanannya ke bank yang bersangkutan," ujar Gunadi dalam audiensi dengan Komisi VII DPR RI dikutip, Selasa (11/7/2023). 

Gunadi mengatakan, kondisi tersebut terjadi sejak harga jual Pertamax mengalami kenaikan hingga pernah berada di Rp13.300 dan saat ini dijual seharga Rp12.400-Rp13.100 di sejumlah titik di Indonesia.

Sementara harga jual Pertalite di tahun lalu naik dari Rp6.750 menjadi Rp10.000 per liter. Artinya, ada selisih harga yang besar. Menurutnya, kenaikan harga Pertamax pada April 2022 lalu menjadi Rp12.500 menganggu pemasukan para pengusaha Pertashop.

"Dengan adanya disparitas harga, omzet kami menurun drastis hingga 90 persen, usaha Pertashop tidak memperoleh keuntungan, justru merugi," ujarnya.

Berdasarkan data per Desember 2022, ada 47 persen Pertashop yang hanya mampu menjual di kisaran 0-200 liter per hari. Menurutnya, dengan tingkat penjualan ini, pengusaha Pertashop mengalami kerugian.

"Dengan omzet 200 liter per hari, berapa sih keuntungannya? Kami tampilkan, omzet 200 liter per hari, dikali 30 hari, 6.000 liter. Margin kita Rp850 (per liter), laba kotor Rp5.100.000 per bulan, sedangkan dalam operasional ada gaji operator mininal dua orang Rp4 juta, masing-masing Rp2 juta, ada iuran BPJS, ada losses (kerugian), dan lain sebagainya," ucapnya

Lanjutnya, ia mengatakan bahwa setidaknya hampir setengah dari pengusaha Pertashop mengalami kerugian.

"Jadi, 47 persen teman-teman Pertashop yang punya omzet segitu bisa dibilang merugi, ini belum untuk (membayar) kewajiban ke bank," ucapnya. 

Lebih lanjut, ia menyebut bahwa sebagian besar pengusaha Pertashop memanfaatkan dana dari pinjaman Kredit Usaha Rakyat (KUR) dari perbankan.

Terancam Pertamini

Gunadi menyebut bahwa kehadiran pengecer Pertalite seperti Pertamini mengganggu bisnis Pertashop di desa-desa. Pasalnya, pengecer BBM subsidi tersebut berani mematok margin di kisaran Rp2.000-Rp2.500 per liter Pertalite yang dijualnya. Mereka juga tidak memiliki kewajiban lain seperti  lembaga penyalur legal yang marginnya hanya Rp850 per liter Pertamax.

"Dapat untung lebih kecil, tapi semua kewajiban resmi seperti pajak dan pungutan legal lain tetap jadi kewajiban kami. Ironis memang, pengecer bisa tegak berdiri di depan Pertashop," ujar Gunadi. 

Maka dari itu, ia meminta agar Revisi Perpres Nomor 191 Tahun 2014 tentang Penyediaan, Pendistribusian, dan Harga Jual Eceran BBM segera disahkan guna memantau penyaluran Pertalite di tingkat pengecer.

Hingga saat ini belum ada ketentuan khusus yang mengatur soal penyaluran Pertalite secara detail. Berbeda dengan Biosolar, BBM jenis tersebut sudah tertata dan jelas peruntukannya.

"Biosolar itu sudah pasti, di sana konsumennya siapa saja sudah tertata. Tapi untuk Pertalite, masih banyak pelat merah, BUMN, BUMD, hingga TNI/Polri yang ternyata masih menggunakan BBM jenis Pertalite," ucapnya.

Harapan Jual Gas Melon

Gunadi berharap, Pertashop dapat ditunjuk sebagai pangkalan resmi LPG subsidi atau 3 kg. Pasalnya, dengan ditunjuk sebagai pangkalan resmi, pengusaha Pertashop bisa menutupi kekurangan dari omzet penjualan BBM jenis Pertamax yang anjlok.

"Sebagai permohonan agar kita bisa menghela napas dan tambahan income di Pertashop, kami berharap tunjuk kami sebagai pangkalan LPG 3 kg," ujarnya.

Gunadi mengatakan, hingga saat ini, Pertashop masih kesulitan untuk menjadi pangkalan resmi LPG 3 kg karena kuota habis tersalurkan ke pangkalan yang sudah resmi terdaftar di agen.

"Setiap kami mohon atau pengajuan ke agen, jawabannya 'sorry bro, kuota habis'," ujarnya. 

Lanjutnya, dengan menjadi pangkalan resmi LPG 3 kg, ia berharap Pertashop bisa menjadi layaknya SPBU yang tak perlu mengajukan permohonan ke agen, melainkan terdaftar resmi di Pertamina.

"Agen sudah punya list dari Pertamina, itu SPBU-nya di mana saja, di-dropping dan di-mapping dari Pertamina, itu yang kami harapkan," ucapnya.

Salah Skema

Pengamat ekonomi energi Universitas Gadjah Mada (UGM) Fahmy Radhi mengatakan, skema bisnis Pertashop sejak awal memang sudah terlihat rawan gulung tikar atau bangkrut. 

"Sejak awal saya sudah memprediksi bahwa Pertashop itu pasti akan rugi dan pasti akan terjadi bangkrut," ujar Fahmy saat kepada Warta Ekonomi, Senin (17/7/2023). 

Fahmy mengatakan, pandangan tersebut bukanlah tanpa sebab. Potensi kebangkrutan Pertashop terlihat dari beberapa faktor, salah satunya adalah posisi yang tidak boleh dekat dengan SPBU.

Selain itu, penempatan yang berada di daerah pinggiran atau pedesaan menjadi salah satu penyebab dari potensi kebangkrutan tersebut. Pasalnya, mayoritas masyarakat di daerah pedesaan bukan pengguna Pertamax.

"Misalnya di daerah pinggiran itu mobil yang menggunakan Pertamax itu sangat sedikit, sehingga omzetnya jadi kecil untuk Pertashop," ucapnya. 

Selain omzet yang kecil, pengusaha Pertashop dihadapkan dengan margin yang sangat kecil dari Pertamina, sehingga rawan mengalami kerugian, bahkan bangkrut.

"Kalau omzetnya kecil karena jauh dari konsumen, maka ya pasti akan terjadi kerugian dan akhirnya bangkrut," ungkapnya.

Jadikan Penyalur BBM Subsidi

Fahmy menilai Pertamina harus memberikan hak penyaluran Pertalite dan solar untuk menyelamatkan bisnis Pertashop dari kebangkrutan.

"Saya kira solusinya kalau mau menyelamatkan Pertashop, maka diberikan kesempatan untuk menjual Pertalite, solar," ujar Fahmy. 

Fahmy mengatakan, kesempatan tersebut akan menciptakan diversifikasi bagi pengusaha Pertashop. Pasalnya, ia melihat lokasi Pertashop rata-rata di pedesaaan dan mayoritas warga di wilayah tersebut adalah pengguna Pertalire dan solar.

"Salah satunya untuk menyelamatkan adalah memberikan izin untuk menjual Pertalite dan solar yang merupakan produk subsidi, meskipun itu marginya juga kecil, tapi kalau ada beberapa Pertalite, Pertamax, solar, maka omzetnya akan naik," ujarnya.

Sementara itu, Analis Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA), Putra Adhiguna menilai bisnis Pertashop yang dinilai mampu memberikan kemudahan dengan mengusung jangkauan rasanya perlu ditinjau ulang.

Pasalnya, dengan hanya diperbolehkan menjual BBM nonsubsidi tak ayal membuat bisnis ini seperti di ujung tanduk akibat kesenjangan harga antara Pertamax dan Pertalite yang jauh.

"Wajar untuk masyarakat bergeser dari Pertamax ke Pertalite dengan kesenjangan harga yang besar, utamanya di pedesaan," ujar Putra saat dikonfirmasi Warta Ekonomi, Senin (17/7/2023).

Putra mengatakan, berbagai promosi dan kemudahan diberikan di awal untuk mengusung ide jangkauan ke pedesaan dan sebagai peluang bagi pengusaha kecil dan menengah, tetapi tampaknya para mitra tidak dibekali pemahaman mengenai risiko usaha dengan jelas.

Perihal risiko harga minyak dunia dan perubahan kebijakan harga BBM pemerintah bukan barang baru bagi Pertamina, tapi berbeda dengan pengusaha Pertashop. 

"Saya khawatirnya hal tersebut tidak benar-benar dipahami oleh pengusaha terkait," ujarnya. 

Mengenai kondisi tersebut, ia menilai tanggung jawab berada di semua pihak terkait antara mitra, Pertamina, dan pemerintah.

Putra menilai keinginan Pertashop untuk dapat menyalurkan gas melon harusnya dipertimbangkan dengan matang agar tidak menjadi masalah di kemudian hari. 

"Dengan konsumsi gas melon subsidi yang sudah sangat tinggi, baiknya tidak terlalu terburu-buru karena bisa menciptakan masalah baru yang nanti lebih sulit dikendalikan," ungkapnya.

Tata Ulang Bisnis

Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro mengatakan bahwa konsep bisnis Pertashop perlu ditata ulang. Pasalnya, berdasarkan data, dari sekitar 448 unit Pertashop, sebanyak 201 di antaranya dilaporkan mengalami kerugian.

Tingkat kerugian yang dialami dilaporkan bervariasi. Sejumlah Pertashop dilaporkan sampai terpaksa menutup usahanya dan sebagian lagi asetnya sampai disita perbankan karena tidak dapat membayar pinjaman.

"Dari perspektif ekonomi dan daya beli masyarakat, konsep bisnis untuk Pertashop kiranya perlu ditata ulang. Kebijakan untuk Pertashop yang hanya diperbolehkan menjual BBM RON tinggi, pada dasarnya tidak sesuai dengan segmen pasar yang menjadi target," ujar Komaidi dalam keterangannya, Selasa (11/7/2023).

Komaidi mengatakan, pada awalnya Pertashop didesain dan ditujukan untuk memperluas akses BBM ke wilayah-wilayah yang belum terjangkau SPBU. Karena itu, Pertashop umumnya lebih banyak tersebar di wilayah pedesaan dan pinggiran kota yang notabene dengan profil masyarakat berpendapatan lebih rendah dibandingkan masyarakat di perkotaan.

"Ketika Pertashop hanya diperbolehkan menjual BBM RON tinggi, sementara di SPBU tersedia BBM RON yang lebih rendah, maka masyarakat yang menjadi target pasar berpotensi membeli BBM di SPBU dengan lebih banyak pilihan, termasuk dapat memilih untuk membeli BBM RON lebih rendah dengan harga yang lebih murah," ujarnya.

Lanjutnya, kehadiran penjual BBM eceran seperti Pertamini di wilayah dan bahkan tidak jauh dari lokasi Pertashop menjadi penyebab utama banyaknya Pertashop yang mengalami kerugian. 

"Hal itu karena penjual eceran dan Pertamini menjual BBM RON lebih rendah yang tidak dapat dilakukan oleh Pertashop," ucapnya.

Komaidi menyebut, margin usaha niaga BBM seperti Pertashop pada umumnya telah ditetapkan dalam nilai tertentu untuk setiap liternya. Karena itu, keberlangsungan bisnis niaga BBM termasuk Pertashop akan ditentukan oleh besaran volume penjualan yang dapat dilakukan.

Kebijakan yang hanya membolehkan Pertashop menjual BBM RON tinggi, sementara kegiatan usaha Pertabotol dan Pertamini tidak ditertibkan akan berdampak terhadap target minimal penjualan Pertashop tidak tercapai. Akibatnya, biaya operasional tidak dapat tertutup dan kemudian merugi.

"Pemerintah perlu menata kembali konsep bisnis Pertashop agar tidak merugikan para pihak, terutama pelaku bisnis. Jangan sampai tujuan memperluas akses BBM yang pada dasarnya sangat bagus karena dapat menjadi katalis pertumbuhan ekonomi nasional justru menjadi kontraproduktif dan beban bagi pelaku bisnis yang telah berinvestasi di bisnis Pertashop," ungkapnya.

Di sisi lain, Anggota Komisi VII DPR RI dari Fraksi PKS, Mulyanto mengatakan, Pertamina harus mencari jalan keluar dan membina Pertashop agar mampu keluar dari kerugian yang dialami.

Menurutnya, salah satu cara agar Pertashop bisa keluar dari kerugian adalah dengan memberikan kewenangan pada Pertashop untuk menjual atau menyalurkan produk selain BBM jenis Pertamax.

"Tentunya Pertamina wajib membina Pertashop ini. Salah satunya dengan memfasilitasi Pertashop menjadi penyalur produk-produk lain," ujar Mulyanto kepada Warta Ekonomi, Selasa (18/7/2023).

Mulyanto mengatakan, salah satu produk yang harusnya diberikan kewenangan kepada Pertashop untuk disalurkan adalah pelumas milik Pertamina atau memberikan kewenangan untuk menjadi pangkalan gas LPG 3 kg atau gas melon.

"Memfasilitasi Pertashop ini menjadi penyalur produk-produk lain yang mungkin dan menguntungkan seperti pelumas dan lain-lain, termasuk menjadi pangkalan gas melon," ujarnya.

Lanjutnya, mengenai permintaan pengusaha Pertashop untuk menyalurkan BBM subsidi terutama jenis Pertalite dan solar, hal tersebut harus dibicarakan kembali dengan BPH Migas.

"Kalau menjual BBM bersubsidi ini masuk wilayah BPH Migas, bukan kewenangan Pertamina," ucapnya.

Bikin Pertalite Nonsubsidi

Mulyanto menambahkan bahwa kerugian yang dialami oleh pengusaha Pertashop karena hanya menjual satu produk yaitu Pertamax memunculkan ide agar Pertamina menyediakan BBM dengan RON 90 nonsubsidi.

"Saat audiensi dengan Komisi VII DPR RI, muncul ide agar Pertashop dapat menjual BBM RON 90 semacam Pertalite non-subsidi atau sejenis Revvo-90," ujar Mulyanto.

Mulyanto mengatakan, ide menarik tersebut nantinya akan dikaji kelayakanya oleh Pertamina agar tidak menyebabkan kesalahan di kemudian hari.

"Ini ide menarik yang akan dikaji kelayakannya oleh Pertamina. Catatannya adalah Pertamina membuat produk baru semacam “Pertalite” namun nonsubsidi,"ujarnya.

Lanjutnya, bilamana hal tersebut nantinya terjadi atau terlaksana, maka harus ada mekanisme dan pengawasan agar tidak terjadi penyelewengan terhadap BBM subsidi jenis Pertalite.

"Lalu, harus ada mekanisme dan pengawasan untuk memastikan tidak terjadi pengoplosan atau pengalihan BBM Pertalite bersubsidi menjadi “Pertalite” nonsubsidi," ucapnya.

Respons Pertamina

Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan menyebut, perseroan saat ini tengah mengkaji kebijakan yang dapat memberikan keuntungan bagi pengusaha Pertashop.

Pasalnya, pengusaha Pertashop mengaku mengalami kerugian karena penjualan Pertamax anjlok. Hal tersebut disampaikan pengusaha saat audiensi dengan Komisi VII DPR RI beberapa waktu lalu.

Kerugian yang dialami oleh sebagian besar pengusaha Pertashop tersebut membuat mereka meminta agar diperbolehkan untuk memasarkan Pertalite dan LPG 3 kg.

"Pada prinsipnya kita akan lihat yang memang lebih memungkinkan untuk memberikan keuntungan buat teman-teman di komunitas Pertashop. Ini lagi dikaji kira-kira yang paling baik dan beneficial yang pasti kita tidak bisa untuk menempatkan produk subsidi secara langsung ini butuh kajian, tapi kita lagi mengkaji itu sih dan kita akan menyiapkan solusi yang paling bagus," ujar Riva saat ditemui di ICE BSD Tangerang, Rabu (12/7/2023).

Riva mengatakan, terkait kerugian pengusaha Pertashop, Pertamina tengah mencoba untuk mendiskusikan dengan berbagai pihak dan stakeholder untuk dapat memberikan solusi yang terbaik.

"Khususnya di harga, jadi nanti akan kita lihat solusi mana yang terbaik, tapi itu sudah menjadi concern kami," ujarnya.

Lanjutnya, soal permintaan untuk menjual Pertalite pun akan dikaji. Namun, Riva memastikan Pertashop tidak akan secara langsung diberikan akses untuk produk subsidi.

"Menjual Pertalite itu akan dikaji, tapi tidak dengan serta merta kita memberikan akses kepada produk subsidi, tapi mungkin akan ada pendekatan-pendekatan lain. Intinya memang kita untuk meningkatkan accsessibility ke masyarakat, affordability, mungkin kita akan menggunakan Pertashop dan itu juga akan beneficial untuk dua sisi, baik Pertashop maupun masyarakat," ucapnya.

Baca Juga: Ratusan Pertashop di Ambang Kebangkrutan, Pertamina Harus Turun Tangan

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Djati Waluyo
Editor: Rosmayanti

Advertisement

Bagikan Artikel: