Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Suku Bunga The Fed Naik, Investasi Saham dan Obligasi Akan Paling Bergairah

Suku Bunga The Fed Naik, Investasi Saham dan Obligasi Akan Paling Bergairah Kredit Foto: Sufri Yuliardi
Warta Ekonomi, Jakarta -

Suku bunga acuan The Federal Reserve (The Fed) kini berada di level 5,25–5,50%. Angka tersebut tertinggi sejak lebih dari dua dekade lalu. Lantas, apa dampaknya bagi ekonomi global dan ekonomi domestik Indonesia? 

Menurut keterangan yang dikeluarkan Tumbuh Makna, platform diskusi literasi keuangan dan pasar modal Indonesia, pada Senin (14/8/2023), bahwa naiknya suku bunga The Fed ternyata tidak memiliki pengaruh signifikan.

Direktur Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Bhima Yudhistira Adhinegara menjelaskan bahwa terdapat faktor, salah satunya, menaikkan suku bunga secara agresif akan berdampak pada pinjaman konsumen yang jauh lebih mahal dan berdampak pada pemulihan konsumen domestik. 

Baca Juga: Investasi Ala Nabi Yusuf, Solusi Tepat Hadapi Krisis Ekonomi

“Selain itu, banyak industri yang juga akan terpengaruh dengan kenaikan suku bunga tersebut,” ujar Bhima dalam diskusi Talkshow Tumbuh Makna dengan tema Pengaruh Kenaikan Suku Bunga The Fed Terhadap Ekonomi Global dan Indonesia di Jakarta baru-baru ini. Dalam agenda tersebut, diskusi dihadiri narasumber Bhima Yudhistira Adhinegara dan Co-Founder Tumbuh Makna Benny Sufami.

Bhima juga menganalisis bahwa roda ekonomi Indonesia lebih terhubung dengan pergerakan China ketimbang Amerika, sehingga kenaikan suku bunga The Fed tidak secara otomatis mengganggu pertumbuhan ekonomi Indonesia.

“Karena China adalah salah satu negara asal investasi yang terbesar dan mitra investasi Indonesia. Kedua, mereka adalah mitra dagang. Indonesia ekspor ke China bisa seperempat dari total ekspor Indonesia, kira-kira sekitar 25% Indonesia kirim ke China, dan itu tentu sangat memengaruhi,” tuturnya.

Bahkan Bhima kembali menjelaskan dengan mengambil riset sebuah studi bahwa setiap satu persen penurunan ekonomi yang terjadi di Amerika Serikat, pengaruhnya ke Indonesia hanya 0,01%. Namun, jika ekonomi China turun 1% saja dalam PDB mereka, imbas ke Indonesia bisa mencapai 0,3%. 

“Jadi kita lebih sensitif dengan ekonomi China. Sehingga kenaikan suku bunga AS belum tentu berdampak langsung ke capital market maupun surat utang di Indonesia, setidaknya dalam jangka waktu yang dekat,” tambahnya.

Meski fundamental ekonomi nasional kuat, Bhima menyatakan pada tahun depan Indonesia perlu mewaspadai gejolak ekonomi yang akan terjadi. Ia menandai dari semester II-2023 dan 2024 yang akan muncul banyak dinamika. Menurutnya, The Fed tetap penting untuk diperhatikan, namun tetap memperhatikan faktor lainnya agar negara dapat memitigasi beberapa risiko. 

Bhima menambahkan, inflasi di Indonesia saat ini masih bisa ditahan, dengan cadangan devisa yang masih bagus, sehingga suku bunga masih bisa ditahan. 

“… tapi kalau Amerika suku bunganya masih terus 5,25%, maka harus tawarkan bunga. Karena bila ada penyesuaian jangka panjang, kasihan industri karena suku bunga pinjaman juga akan menjadi mahal dan pengaruhnya juga pada penyaluran pertumbuhan kredit perbankan dan berdampak pada imbal hasil yang harus ditawarkan oleh berbagai instrumen investasi di Indonesia,” bebernya.

Bhima meyakini ekonomi kuartal III-2023 nanti akan banyak tantangan yang mesti diwaspadai, terutama mengenai ketidakseimbangan antara pendapatan dan kebutuhan. Ia menyebut, di kuartal ketiga, kebutuhan terus meningkat, khususnya belanja pemerintah. 

“… tapi yang perlu diketahui di kuartal II adalah ini tidak ada momen musiman di mana masyarakat bergerak untuk berwisata secara masif, itu tantangannya. Di kuartal III biasanya belanja pemerintah mulai meningkat tetapi belum setinggi di kuartal IV. Meski begitu, kemungkinan pertumbuhan pada kuartal III berada pada kisaran 4,9%,” katanya.

Sementara itu, Co-Founder Tumbuh Makna, Benny Sufami memprediksi situasi ekonomi global saat ini tidak memberikan tekanan yang signifikan bagi ekonomi domestik di Indonesia. Sebab, ekonomi nasional pada kuartal II baik, khususnya angka PDB Indonesia yang berada di atas 5% dengan tren inflasi relatif stabil, yang menunjukan sentimen positif.

“Berdasarkan data riset yang Tumbuh Makna peroleh, ekonomi kuartal II-2023 PDB Indonesia 5,17%. IMF menyatakan bahwa maksimal pertumbuhan ekonomi dunia hanya akan bertumbuh maksimal 3%, itu sudah cukup bagus bagi ekonomi domestik Indonesia. Itu sudah cukup baik di tengah kondisi tekanan ekonomi global,” ujar Benny. 

“Kedua, data inflasi awal bulan sudah diumumkan, dan hasilnya inflasi harga konsumen lebih rendah dari kuartal sebelumnya yakni dari 3,52% ke 3,08% (yoy),” sambungnya.

Pada kondisi tersebut, Benny melihat masih terdapat peluang investasi, khususnya di pasar saham dan obligasi.

“… valuasinya juga masih sangat menarik. Tantangannya adalah investor hanya perlu lebih bersabar. Sebab kami lihat di semester I, Indeks Harga Saham Gabungan stagnan, sementara di semester kedua inilah kami melihat akan sangat menarik,” ujarnya.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Nadia Khadijah Putri
Editor: Rosmayanti

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: