Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Mengintip Rencana Merger Tiga Maskapai BUMN

Mengintip Rencana Merger Tiga Maskapai BUMN Erick Thohir, Menteri BUMN | Kredit Foto: Sufri Yuliardi

Pada tahun 2020, Pelita Air mengoperasikan 15 unit helikopter dan sembilan unit pesawat terbang. Sejarah perusahaan ini dimulai sebagai divisi pelayanan udara dari Pertamina pada tahun 1963, yang awalnya bernama Pertamina Air Service. Namun, pada Januari 1970, divisi tersebut dipisahkan dan berdiri sebagai perusahaan independen dengan nama PT Pelita Air Service.

Awalnya Pelita Air hanya menyediakan layanan transportasi udara untuk Pertamina serta perusahaan minyak dan gas lain yang beroperasi di Indonesia dengan skema penyewaan. Namun, pada awal tahun 2000, Pelita Air memperkenalkan layanan penerbangan berjadwal dengan merek Pelita AirVenture. Tak lama setelah berdiri, persaingan yang ketat di industri penerbangan membuat layanan ini akhirnya ditutup pada tahun 2005.

Setelah mengalami 15 tahun tanpa layanan penerbangan berjadwal, Pelita Air memutuskan untuk kembali pada April 2020 dengan membuka rute penerbangan dari Jakarta ke Denpasar menggunakan pesawat Airbus A320-214. Dua bulan kemudian, Pelita Air membuka rute penerbangan Jakarta-Yogyakarta dengan jenis pesawat yang sama.

Pada tahun 2021, dilaporkan bahwa Pelita Air memiliki aset sebesar US$109,6 juta. Pada tahun yang sama kinerja Pelita Air berada di arah yang positif dengan mengantongi laba sebesar US$2,15 juta.

Respons Maskapai terhadap Wacana Merger

Direktur Utama PT Garuda Indonesia Tbk Irfan Setiaputra turut buka suara terkait rencana merger bisnis Garuda Indonesia Group bersama dengan Pelita Air. Dia memberikan tanggapan yang positif terkait wacana merger tersebut karena dinilai akan memperkuat fundamental bisnis Garuda Indonesia pascarestrukturisasi.

"(Merger) tersebut menjadi sinyal positif bagi penguatan fundamental kinerja perusahaan khususnya pascarestrukturisasi," ujar Irfan.

Sebagaimana diketahui, sebelumnya, maskapai tersebut memiliki total utang mencapai US$9,8 miliar atau sekitar Rp150 triliun kepada lebih dari 800 kreditur. Melalui berbagai upaya restrukturisasi, perusahaan tersebut pun berhasil memperbaiki kinerjanya.

Wacana merger ketiga maskapai BUMN ini dikabarkan membuat saham emiten PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) naik hingga lebih dari 7 persen. Berdasarkan data RTI Business, Selasa (22/8/2023) pukul 13.49 WIB, saham GIAA naik 7,46 persen atau 5 poin ke level Rp72 per saham. Harga saham GIAA bergerak di antara Rp67 hingga Rp73 sepanjang perdagangan hari ini.

Tentu saja kabar tersebut memberikan kegembiraan bagi Garuda Indonesia, mengingat emiten GIAA sebelumnya telah mengalami penurunan yang signifikan. Hingga Bursa Efek Indonesia (BEI) menyematkan notasi khusus terhadap perusahaan pelat merah ini, yakni notasi E atau saham emiten dengan ekuitas negatif.

Senada, Direktur Utama PT Citilink Indonesia, Dewa Kadek Rai juga menyambut baik rencana penggabungan tiga maskapai pelat merah tersebut. Menurutnya, penggabungan ketiga perusahaan dapat meningkatkan efisiensi dengan share resources dan kolaborasi yang lebih baik lagi.

"Terutama dengan Pelita," kata Dewa dikutip dari Tempo, Rabu (23/8/2023).

Sementara itu, Direktur Utama PT Pelita Air, Dendy Kurniawan, menanggapi rencana merger tersebut dengan positif. Ia menilai, dengan adanya kolaborasi antarmaskapai BUMN, maka industri penerbangan Indonesia akan menjadi lebih kuat lagi.

"Yang jelas saya mendukung proses sinergi airlines BUMN supaya bisa lebih sehat dan menjaga keterjangkauan harga tiket dan mendukung konektivitas udara nasional," kata Dendy.

Baca Juga: Erick Bakal Merger Garuda dengan Pelita Air, Saham GIAA Jadi Rebutan Investor

Halaman:

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Ni Ketut Cahya Deta Saraswati
Editor: Rosmayanti

Advertisement

Bagikan Artikel: