Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Centris Ungkap Kecurigaan Terpilihnya Qu Dungyu sebagai Dirjen FAO PBB

Centris Ungkap Kecurigaan Terpilihnya Qu Dungyu sebagai Dirjen FAO PBB Kredit Foto: Reuters/Thomas Peter
Warta Ekonomi, Jakarta -

Organisasi pangan dan pertanian dunia (FAO PBB), mengadakan Konferensi Umum ke-43 untuk memilih Direktur Jenderal (Dirjen)di Roma, Italia, Minggu (2/7). 

Wakil Menteri Pertanian China, Qu Dongyu yang merupakan petahana dan satu-satunya kandidat, akhirnya kembali menjabat sebagai Dirjen FAO PBB.

Qu Dungyu yang dikenal sebagai salah satu loyalis Partai Komunis China, diketahui sangat berjasa dalam memajukan Inisiatif Sabuk dan Jalan (BRI) Tiongkok yang menjadi program strategis Presiden Xi Jinping.

Beberapa peneliti mensinyalir terpilih kembalinya Qu Dungyu sebagai Dirjen FAO PBB, tak lepas dari lobi-lobi Beijing dengan banyak negara, khususnya di Afrika. 

Tidak sedikit yang menilai langkah China menempatkan pejabat-pejabat mereka di organisasi-organisasi dunia khususnya di PBB, untuk mengedepankan kepentingan Tiongkok, bukan bangsa-bangsa di dunia.

Merespons hal ini, Center for Indonesian Domestic and Foreign Policy Studies (CENTRIS) menilai wajar jika banyak yang curiga dengan terpilihnya kembali Qu Dungyu sebagai Dirjen FAO PBB, mengingat hanya Qu Dungyu sendiri yang maju dalam kompetisi tersebut.

Peneliti senior CENTRIS, AB Solissa mengatakan banyak yang mempertanyakan mundurnya beberapa perwakilan atau kandidat dari negara lain, yang terkesan sangat mendadak jelang kontestasi pemilihan Dirjen FAO PBB.

“Disejumlah media disebutkan dua negara Afrika, Kamerun dan Uganda, tiba-tiba menarik pencalonan perwakilan mereka dalam bursa pemilihan Dirjen FAO,” kata AB Solissa kepada wartawan, Selasa, (29/8/2023).

Dalam laporan media mauoun jurnal yang ditulis oleh beberapa peneliti, lanjut AB Solissa, disebutkan kuat dugaan kandidat lainnya mundur dalam kontestasi pemilihan Dirjen FAO setelah Tiongkok membatalkan pembayaran utang dan menjanjikan investasi sebagai imbalannya kepada negara para kandidat.

Direktur Jenderal FAO di Tiongkok kembali menjadi pemberitaan tahun ini menyusul pelaporan bersama oleh lembaga penyiaran publik Jerman BR, MDR, RBB, dan SWR menyusul informasi dari orang dalam FAO tentang seberapa besar perubahan yang telah terjadi dalam organisasi tersebut sejak Qu menjabat. 

Pelaporan tersebut menemukan bahwa Qu telah memanfaatkan FAO untuk melayani Beijing dan menghabiskan empat tahun terakhir menyesuaikan badan tersebut dengan kepentingan Tiongkok. 

“Dalam laporan seorang peneliti yang diduga berasal dari dokumen internal FAO, mengungkapkan bahwa ada sekelompok karyawan khusus di kantor pusat FAO di Roma yang digaji oleh Beijing, dan harus melapor secara ketat ke Kedutaan Besar Tiongkok di Roma tentang pekerjaan mereka,” terang AB Solissa.

Peneliti menyebut apa yang terjadi di FAO bukan hanya mengenai keuntungan bagi perusahaan perusahaan Tiongkok dan kemajuan BRI, namun juga mengenai perubahan cara kerja organisasi-organisasi internasional, aturan-aturan yang mereka buat, dan tujuan-tujuan yang mereka dukung. 

Belum lama ini, seorang pejabat Tiongkok ditunjuk menjadi anggota Kelompok Konsultatif Dewan Hak Asasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNHRC) yang beranggotakan lima orang, yang sangat berpengaruh dalam mengawasi penunjukan pelapor hak asasi manusia PBB.

Penunjukan tersebut juga dilakukan pada tahun yang sama ketika Tiongkok secara signifikan membatasi kebebasan politik di Hong Kong dan berhasil membuat anggota UNHRC menyetujui deklarasi yang mendukung tindakan tersebut. 

Pada bulan Desember tahun lalu, Tiongkok mampu memblokir perdebatan di badan hak asasi manusia mengenai laporan PBB yang menemukan bahwa pelanggaran yang dilakukan Beijing terhadap komunitas Uyghur merupakan ‘kejahatan terhadap kemanusiaan’.

“Meski saat ini FAO adalah satu-satunya lembaga yang dipimpin oleh orang Tiongkok, namun Beijing memiliki sejumlah besar orang-orang China yang menduduki posisi senior di berbagai badan PBB,” jelas AB Solissa. 

Pada tahun 2020, Tiongkok memimpin empat dari 15 badan khusus PBB dan dibulan Desember 2022, pejabat Tiongkok menduduki 30 posisi kepemimpinan teratas di organisasi utama PBB, dana, badan khusus, dan entitas lainnya. 

Tiongkok juga terus membanjiri pertemuan badan-badan PBB yang menetapkan standar, termasuk International Telecommunication Union (ITU), International Organization for Standardization (IOS), International Civil Aviation Organization (ICAO) dan International Maritime Organization (IMO).

Di ITU, yang mengeluarkan ratusan standar baru, termasuk tentang 5G dan “Internet of Things” yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari, Tiongkok mengirimkan delegasi dalam jumlah besar yang berjumlah lebih dari 600 orang, melebihi jumlah negara lain mana pun dalam pertemuan atau pembahasan. 

Tiongkok juga mensubsidi partisipasi organisasi non-pemerintah seperti dunia usaha dan lembaga akademis dengan instruksi bahwa mereka harus menghalangi konsensus untuk memaksa ITU mendukung standar pilihan Beijing mengenai isu-isu seperti pengkodean 5G. 

Tahun lalu, Tiongkok terpilih kembali sebagai Anggota Dewan ITU, yang merupakan salah satu dari dua badan pengatur organisasi yang mengawasi operasi, pengawasan pekerjaan, dan pengelolaan keuangannya. 

Tiongkok kini bersaing untuk mendapatkan posisi terdepan di Organisasi Maritim Internasional (IMO), yang menetapkan standar keselamatan dan keamanan pelayaran internasional dan peraturan pelayaran di seluruh dunia termasuk masalah hukum terkait maritim seperti kompensasi, tanggung jawab, dan fasilitasi lalu lintas laut. 

Jika kandidat dari Beijing menang, Tiongkok akan berada dalam posisi untuk mendikte peraturan domestik negara-negara anggota mengenai dekarbonisasi dan polusi udara, peraturan yang dapat berdampak pada pergerakan maritim di lokasi-lokasi strategis seperti Selat Malaka dan Laut Cina Selatan selain mempengaruhi cara kerja kapal. organisasi ini menangani laporan IUU dan penangkapan ikan eksploitatif. 

“Setelah menjabat, Tiongkok dapat menempatkan lebih banyak orang China di posisi kepemimpinan puncak seperti rekannya di FAO, jadi tetap waspada dan jangan mau dijadikan alat negatif untuk kepentingan Beijing,” pungkas AB Solissa.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Ferry Hidayat

Advertisement

Bagikan Artikel: