Guru Besar UIN: Santri Belajar di Luar Negeri Harus Mumpuni dan Berideologi Kuat
Para kiai dan kaum santri dalam sejarah perjuangan Indonesia memainkan peran penting sebagai garda terdepan dalam membela dan mempertahankan negara dan ideologi Pancasila.
Karena itu, santri di Indonesia yang menimba ilmu ke berbagai negara, seperti ke dunia barat hingga ke tanah Tiongkok, agar menjadi sumber daya manusia (SDM) yang mumpuni.
"Sebaiknya santri yang dikirim menimba ilmu minimal untuk studi lanjut pada level S2, sehingga secara ideologi sudah kuat. Kalau santri yang berangkat ke negara lain tamatan SMA, bisa dipengaruhi mereka," kata Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati, Prof Tajul Arifin saat menjadi pembicara pada seminar bertajuk Santri, Elit Bisnis, dan Strategi Kuasa Lunak Tiongkok, yang diselenggarakan Forum Sinologi Indonesia di Jakarta pada Kamis (31/8/2023).
Dia berharap agar santri atau siswa Indonesia yang dikirim pendidikan ke negeri barat, Tiongkok, dan negara lainnya untuk tetap bisa mempertahankan ideologi Pancasila.
“Berbeda dengan pengalaman para santri studi ke Barat, di mana kebanyakan minimal untuk studi lanjut pada level S2, sehingga secara ideologi mereka sudah kuat, saat ini, para santri yang berangkat ke Tiongkok kebanyakan mulai dari tamatan SMA, sehingga masih berpengetahuan dangkal dan mudah dipengaruhi,” tuturnya.
Ketua Forum Sinologi Indonesia (FSI) yang juga pemerhati Tiongkok dan Tionghoa dari Universitas Pelita Harapan, Johanes Herlijanto mengatakan bahwa Tiongkok bukan hanya merangkul para santri dan komunitas muslim, tetapi juga elit bisnis, termasuk komunitas Tionghoa.
Johanes menjelaskan peran penting yang dimainkan oleh UFWD, United Front Work Department, sebuah lembaga di bawah partai berkuasa di Tiongkok.
“Melalui UFWD, Tiongkok memberi gambaran soal sistem politik yang sedang berjalan, sekaligus memberi pengaruh pada partai politik negara lain, komunitas diaspora, dan perusahaan-perusahaan multi nasional,” tuturnya.
Johanes menjelaskan bahwa peran UFWD menjadi semakin penting seiring dengan keyakinan Xi Jinping bahwa orang-orang Tionghoa perantauan memiliki peran penting dalam proyek peremajaan bangsa Tionghoa yang ia canangkan.
“Kini UFWD diberi tugas untuk merangkul Tionghoa perantauan dan mendorong mereka untuk menyampaikan cerita tentang Tiongkok, menjalin hubungan dengan para politisi setempat, serta mempengaruhi kebijakan,” katanya.
Johanes mengatakan bahwa sepak terjang UFWD di berbagai negara, seperti Kanada, Selandia Baru, dan Australia, telah menjadi topik yang dipelajari dan didiskusikan oleh para pemerhati Tiongkok.
Namun, ia menyampaikan, “UFWD telah hadir di Indonesia, dan pernah melakukan kunjungan pada sebuah komunitas bisnis di Indonesia.” Ia mencontohkan kunjungan sebuah organisasi bernama Asosiasi Persahabatan Tionghoa Perantauan (Chinese Overseas Friendship Association) yang dipimpin oleh wakil ketuanya langsung kepada sebuah organisasi bisnis di Indonesia.
Bukan hanya berkunjung, Johanes menuturkan bahwa mereka menyampaikan pertanyaan-pertanyaan yang memperlihatkan kharakteristik UFWD. Pertama, terdapat pernyataan yang menekankan hubungan emosi antara Tionghoa Indonesia, yang sebenarnya sudah sepenuhnya Indonesia, dengan RRT. Kedua, terdapat apresiasi dan dorongan kepada komunitas Tionghoa, khususnya komunitas bisnis, untuk menjadi jembatan bagi hubungan antara RRT dan Indonesia.
Ketiga, terdapat dorongan agar Tionghoa di Indonesia membangun rasa percaya pada perkembangan ekonomi Tiongkok dan dunia di masa mendatang, melanjutkan kepedulian dan dukungan pada reformasi di Tiongkok, dan bekerja sama untuk mempromosikan modernisasi ala Tiongkok dan pembangunan sabuk dan jalan (Belt and Road).
Menurut Johanes, pernyataan-pernyataan di atas merupakan upaya untuk menarik sebuah kelompok di Indonesia untuk mengedepankan kepentingan Tiongkok.
Menurut Johanes, UFWD juga harus dikritisi oleh masyarakat Indonesia. Ia memuji sikap beberapa kelompok bisnis entik Tionghoa, baik generasi senior maupun muda, yang menurutnya menunjukkan sikap tetap berpegang teguh pada NKRI, dan enggan terikat secara politis dengan Tiongkok.
Seminar dibuka dengan kata pembuka dari Prof A Dahana, mantan guru besar Universitas Indonesia yang juga pendiri dari FSI. Dia mengajak semua peserta untuk mendiskusikan Tiongkok dengan pikiran terbuka namun kritis.
“Mari berdiskusi bukan dengan pemikiran yang terlanjur diisi oleh kebencian, maupun pikiran yang terlanjur diisi dengan pemujaan berlebihan terhadap negara dan masyarakat Tiongkok,” tuturnya.
Baca Juga: Buka Rakernas IPI 2023, Wapres Ma'ruf Amin Minta Pesantren Jaga Keamanan Santri
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Rosmayanti
Tag Terkait:
Advertisement