Demi Keadilan UMKM, DPR Dorong Bisnis Medsos dan Social Commerce Wajib Dipisah
Anggota Komisi VI DPR RI Evita Nursanty mendukung upaya pemerintah untuk memisahkan antara platform media sosial dengan social commerce maupun e-commerce di Indonesia. Pemisahan ini agar aktivitas media sosial dan social commerce dapat diatur sehingga tidak merugikan UMKM dalam negeri.
"Betul saya kira itu perlu didukung. Dan harus berlaku umum. Apa iya media sosial harus dagang juga, kan ini bisa semena-mena itu. Dia tahu siapa pelanggannya, tabiatnya dalam membeli, tahu lokasinya, dia punya teknologi untuk itu," ujarnya kepada wartawan di Jakarta, Sabtu (16/9/2023).
Kendati begitu, Dia meminta pemerintah dalam hal ini Kementerian Perdagangan, Kementerian Koperasi dan UKM, Kemenkominfo, Kemenkeu dan lain-lain agar cermat untuk memutuskan ini khususnya saat membahas revisi Permendag No 50/2020, sebab akan berlaku untuk semua platform bukan hanya TikTok saja. Baca Juga: Respons Kemenkominfo soal TikTok Dipisah dari TikTok Shop: Kita Kembali Saja pada Aturan
"Kemudian dipikirkan matang-matang dampaknya bagi e-commerce yang sudah ada maupun UMKM. Sekali kebijakan sudah diputuskan harus dijalankan dengan konsisten, dan pasti butuh waktu lama memperbaikinya lagi," pungkasnya.
Oleh sebab itu, lanjutnya, dalam konteks ini, kita sangat perlu untuk clear-kan dulu apa itu media sosial, apa itu social commerce dan apa itu e-commerce. "Boleh gak sih social commerce punya produk yang dijual sendiri, dimana batasannya. Ini bukan pembahasan yang mudah, kita mendukung agar pembahasannya lebih hati-hati," tambahnya.
Kejelasan ini, menurutnya agar pelaku UMKM di dalam negeri tidak dirugikan dengan banyaknya produk-produk impor yang harganya bersaing, dan bahkan lebih murah di media sosial. Hal ini lantaran platform media sosial diduga dapat melakukan perdagangan lintas batas (cross border) yang disinyalir tidak mengikuti mekanisme impor produk termasuk melengkapi izin edar dari BPOM, memenuhi SNI, pajak hingga sertifikasi halal.
"Nah tiba-tiba mereka (TikTok) masuk menjadi e-commerce alias bukan lagi sekadar media sosial, itulah yang menjadi problem. Sebab ternyata hal itu merugikan kita, merugikan UMKM kita dan sebaliknya menguntungkan barang-barang impor seperti dalam kasus barang-barang murah yang dari Tiongkok itu. Dulu masalah harga ini kan sudah jadi masalah, sekarang makin rumit lagi karena dagangannya di media sosial dimana tempat orang berkumpul lebih besar secara bebas setiap hari," jelas Evita.
Untuk itu, dirinya mendukung pemerintah agar mengatur tata kelola yang benar mengenai platform media sosial yang masuk ke e-commerce. Kemudian menerapkan batasan harga barang impor yang bisa dijual di e-commerce termasuk menetapkan daftar positif maupun negatif barang yang boleh dijual dan yang dilarang. "Itu demi keadilan dan keberpihakan kepada UMKM kita yang jumlahnya puluhan juta," tegas Evita.
Sebelumnya, Menteri Koperasi dan UKM (MenKopUKM) Teten Masduki menolak platform media sosial asal China TikTok menjalankan bisnis media sosial dan e-commerce secara bersamaan di Indonesia. Pasalnya, TikTok diperbolehkan berjualan namun tidak disamakan dengan akun media sosial. Hal ini juga seiring dengan penolakan serupa yang telah dilakukan oleh dua negara lain sebelumnya yakni Amerika Serikat dan India.
"India dan Amerika Serikat berani menolak dan melarang TikTok menjalankan bisnis media sosial dan e-commerce secara bersamaan. Sementara, di Indonesia TikTok bisa menjalankan bisnis keduanya secara bersamaan," kata Menteri Teten. Baca Juga: TikTok dan Segala Kultur Belanja, E-commerce dan Social-commerce Apakah Berbeda?
Menurutnya, dari riset, dari survei kita tahu orang belanja online itu dinavigasi, dipengaruhi perbincangan di media sosial. "Belum lagi sistem pembayaran, logistiknya mereka pegang semua. Ini namanya monopoli," ucap Menteri Teten.
Selain perlunya mengatur tentang pemisahan bisnis media sosial dan e-commerce, Teten juga mengatakan jika pemerintah perlu mengatur tentang cross border commerce agar UMKM dalam negeri bisa bersaing di pasar digital Indonesia.
"Ritel dari luar negeri tidak boleh lagi menjual produknya langsung ke konsumen. Mereka harus masuk lewat mekanisme impor biasa terlebih dahulu, setelah itu baru boleh menjual barangnya di pasar digital Indonesia. Kalau mereka langsung menjual produknya ke konsumen, UMKM Indonesia pasti tidak bisa bersaing karena UMKM kita harus mengurus izin edar, SNI, sertifikasi halal, dan lain sebagainya," tegasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Fajar Sulaiman
Editor: Fajar Sulaiman
Tag Terkait:
Advertisement