Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Kabar Sawit
Video
Indeks
About Us
Social Media

Centris Sebut Spionase China Sebagai Sistem Pengintaian Bawah Laut Terintegrasi

Centris Sebut Spionase China Sebagai Sistem Pengintaian Bawah Laut Terintegrasi Kredit Foto: Reuters/Florence Lo
Warta Ekonomi, Jakarta -

Pemerintah Amerika Serikat (AS) dilaporkan telah menghidupkan kembali program mata-mata kapal selam era Perang Dingin, untuk menangkal berbagai upaya ‘ilegal’ China yang dianggap berbahaya bagi negara-negara dunia. Fokus utama dari program tersebut, diantaranya sebagai peningkatan kemampuan militer untuk memata-matai musuh-musuh Washington.

Dilansir dari Reuters, Jumat (22/9/2023), Angkatan Laut AS di Oktober 2022 lalu, memberikan nama baru Komando Pengintaian Zona Bawah Laut kepada unit pengintaian yang bermarkas di pangkalan Angkatan Laut di Pulau Whidbey, yang berjarak 80,5 kilometer di sebelah utara Seattle.

Tiga sumber yang mengetahui langsung dan detail perihal rencana AS menyebut, penggantian nama untuk stasiun mata-mata di Whidbey tersebut, menjadi tanda sekaligus pengakuan AS terhadap proyek militer mereka yang jauh lebih besar, yaitu melakukan rekonstruksi terbesar program mata-mata anti-kapal selam sejak Perang Dingin berakhir.

Langkah AS membangkitkan program mata-mata bernilai miliaran dolar Amerika yang dikenal sebagai Sistem Pengintaian Bawah Laut Terintegrasi (IUSS), seiring dengan eskalasi aktivitas latihan militer China di sekitar Taiwan, yang dikekhawatiran berpotensi konflik di kawasan tersebut.

Menanggapi hal ini, Indonesian Domestic and Foreign Policy Studies (CENTRIS), menilai sangat wajar jika AS menghidupkan kembali program mata-mata kapal selam era Perang Dingin, mengingat tidak sedikit ‘gerakan’ China yang dipandang dapat memicu konflik antar negara.

Peneliti senior CENTRIS, AB Solissa, mengatakan langkah AS juga banyak mendapat dukungan, mengingat hanya negeri “Paman Sam” yang memiliki peralatan militer di atas China.

“Dari pantauan kami, banyak yang mendukung karena mereka meyakini, Beijing pasti akan berfikir 2 kali untuk melakukan ‘hal bodoh’ dihadapan AS,” kata AB Solissa kepada wartawan, Selasa, (26/9/2023).

Meski proyek bangkitnya IUSS belum pernah dilaporkan sebelumnya, namun dapat dipastikan program tersebut melibatkan modernisasi jaringan kabel mata-mata akustik bawah laut Amerika, dan penambahan armada kapal pengintai dengan sensor mutakhir seperti mikrofon bawah laut.

“Dari informasi di berbagai media massa, AS diketahui telah sepakat menjual teknologi serupa kepada Australia untuk membantu meningkatkan pertahanan sekutunya di kawasan Pasifik,” ujar AB Solissa.

Sistem pengintaian lautan oleh Angkatan Laut AS adalah investasi terhadap teknologi baru untuk memperkecil dan menjadikan global alat-alat pengintaian maritim tradisional, yang disebut sangat berubah dari sebelumnya serta paling inovatif.

Angkatan Laut AS saat ini tengah membangkitkan program mata-mata era Perang dingin yang mencakup pengerahan drone laut tak berawak untuk 'mendengarkan' kapal-kapal musuh, kemudian menempatkan sensor 'satelit bawah air' di dasar lautan untuk memindai kapal selam, dan menggunakan satelit untuk menemukan lokasi kapal-kapal dengan melacak frekuensi radionya.

Bukan hanya itu saja, AS juga memanfaatkan perangkat lunak kecerdasan buatan (AI) untuk menganalisis data mata-mata maritim dalam waktu yang sangat singkat, selain analis dengan sumber daya manusia.

Angkatan Laut AS dikabarkan tengah bereksperimen dengan cara-cara baru untuk ‘mendengarkan’ kapal selam di wilayah di mana kapal perangnya diawasi secara ketat oleh Tiongkok, termasuk Selat Taiwan dan Laut Cina Selatan.

“Ini bakal seru, namun sayangnya banyak pihak yang memperkirakan Beijing akan ‘me-reachedule’ kegiatan mereka di mancanegara, khususnya di Taiwan,” ujar AB Solissa. 

IUSS dilaporkan dipimpin oleh Kapten Stephany Moore, seorang perwira intelijen veteran Angkatan Laut AS yang kaya dengan ilmu serta pengalaman di dunia intelejen. Sementara komando Pasukan Kapal Selam Armada Pasifik AS, Laksamana Muda Richard Seif, diketahui menjadi pucik pimpinan program IUSS.

“Kami dan tentunya kita semua berharap China untuk menghentikan semua kegiatan yang dapat memicu konflik antar negara. Jangan sampai ‘di rudal’ AS, baru menyesal dikemudian hari,” pungkas AB Solissa.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Ferry Hidayat

Advertisement

Bagikan Artikel: