Mahkamah Kontitusi (MK) mengabulkan sebagian syarat calon presiden dan wakil presiden atau capres-cawapres berusia paling rendah 40 tahun atau berpengalaman sebagai kepala daerah.
Direkur Eksekutif Indonesia Law and Democracy Studies Juhaidy Rizaldy menilai positif putusan MK itu. Menurutnya, putusan ini mengikat dan mesti di taati oleh siapapun.
Baca Juga: Soal Palestina, DPR Minta Ketegasan Jokowi: Indonesia Harus Bawa Israel ke Pengadilan Internasional!
"Putusan MK merupakan putusan yang tidak hanya mengikat para pihak (inter parties) tetapi juga harus ditaati oleh siapapun (erga omnes), saya apresiasi Mahkamah Konstitusi penambahan syarat tambahan pengalaman kepala daerah dibawah 40 tahun bisa menjadi capres-cawapres," kata Rizaldy kepada wartawan, Jumat (20/10).
Rizaldy menuturkan, jika dibandingkan dengan negara lain tidak sedikit Presiden atau Wakil Presiden yang berusia di bawah 40 (empat puluh) tahun ketika pertama kali dilantik atau menjabat.
Misalnya seperti Presiden Chile Gabriel Boric yang diangkat di usia 35 tahun, Presiden Kosovo Vjosa Osmani diangkat di usia 38 tahun, dan Presiden Prancis Emmanuel Macron diangkat di usia 39 tahun.
Bahkan, kata dia, negara Amerika Serikat yang seringkali menjadi rujukan dalam penerapan sistem pemerintahan yang demokratis, justru secara tegas mengatur syarat calon Presiden dalam konstitusi Amerika Serikat sekurang-kurangnya berusia 35 tahun sebagaimana dalam Putusan MK.
"Memang syarat usia dalam Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden harus didasarkan pada prinsip memberikan kesempatan dan menghilangkan pembatasan (to give opportunity and abolish restriction) secara rasional, adil, dan akuntabel, hal ini dibenarkan oleh MK dalam putusannya," tutur Rizaldy.
Baca Juga: Tegas! Jokowi Kutuk Serangan Keji Israel ke Rumah Sakit di Gaza
"Asas erga omes tercermin dari ketentuan yang menyatakan bawa putusan MK langsung dapat dilaksanakan dengan tidak memerlukan lagi keputusan pejabat yang berwenang kecuali peraturan perundang-undangan mengatur lain," sambungnya.
Rizaldy pun membantah keterlibatan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait putusan MK itu. Menurutnya, MK sudah memutuskan secara independen dan objektif.
Hal ini menepis anggapan keterlibatan Jokowi untuk memuluskan langkah Gibran Rakabuming Raka mesti dibuktikan.
Baca Juga: Warna-warni Cari Penerus Jokowi, Isu Perubahan Iklim Masih Sukar Disentuh Politisi
"Tuduhan keterlibatan/intervensi presiden itu harus dibuktikan, jelas tidak ada hubungannya dengan Presiden. MK memutus hal ini secara objektif dan independen," ucapnya.
Rizaldy menambahkan, kedepan Undang-Undang Pemilu harus diubah, sesuai putusan MK No. 90/PUU-XXI/2023 agar terjadi harmonisasi hukum yang baik.
"Intinya syarat itu baik, gugatan PSI dan Garuda hanya langsung minta turunin, tapi khusus yang pengalaman kepala daerah itu baik.
"Terlepas adanya pendapat berbeda (Dissenting opinion). Tapi yang berlaku adalah amar putusan, dan putusannya jelas menyatakan putusan MK ini mulai belaku untuk pemilu 2024 dan seterusnya," pungkasnya.
Diketahui, MK mengabulkan sebagian permohonan yang menguji Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu).
Baca Juga: Dipenuhi Visi, Relawan Siap Bawa Prabowo Jadi Penerus Jokowi di NTT
Gugatan perkara nomor 90/PUU-XXI/2023 itu diajukan oleh Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Surakarta (Unsa) Almas Tsaqibbirru. MK membolehkan seseorang yang belum berusia 40 tahun mencalonkan diri sebagai presiden atau wakil presiden selama berpengalaman menjadi kepala daerah atau jabatan lain yang dipilih melalui pemilihan umum.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Aldi Ginastiar
Tag Terkait:
Advertisement