Reku Respons Transaksi Aset Kripto Menurun, OJK: Pajak Tinggi Penyebab Penurunan Volume Transaksi
Platform pertukaran aset kripto berbasis di Indonesia, Reku, merespons terjadinya penurunan volume transaksi kripto sejak satu tahun terakhir. Perusahaan ini mengutip dari laporan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), penurunan tersebut disebabkan tingginya pajak kripto.
Dilansir dari keterangannya pada Rabu (8/11/2023), pada tahun 2021, volume transaksi perdagangan aset kripto mencapai Rp859,4 triliun. Sementara pada tahun 2022, turun sebanyak 63% menjadi Rp 306,4 triliun pada 2022, dan pada September 2023, tetap terjadi penurunan mencapai Rp 94,4 triliun.
Chief Compliance Officer Reku sekaligus Ketua Umum Aspakrindo-ABI, Robby, mengakui pelaku usaha kripto telah memproyeksi adanya penurunan volume transaksi tersebut, bahkan sudah menerima keluhan-keluhan dari pengguna atas penerapan pajak perdaganan kripto sejak tahun 2022. Alhasil, ini mendorong investor kripto dalam negeri beralih ke platform pertukaran yang berbasis di luar negeri.
Baca Juga: Reku Helat Indonesia Bitcoin Conference 2023, Ajang Tingkatkan Pertumbuhan & Adopsi Kripto
“Yang patut menjadi perhatian bersama adalah, platform exchange global yang menjadi sasaran investor kripto belum memiliki lisensi di Indonesia. Ini dapat berdampak negatif bukan hanya bagi pelaku usaha, namun juga investor dan ekosistem kripto secara keseluruhan juga,” jelas Robby yang dilansir dari keterangannya pada Rabu (8/11/2023).
Menurut Robby, penerapan pajak kripto di Indonesia terbilang besar dibanding negara lain. Besaran PPN final yang dipungut dan disetor sebesar 1% dari tarif PPN umum atau sebesar 0,11%. Sementara itu, penerapan PPN aset kripto tidak diberlakukan di banyak negara seperti Malaysia, Singapura, Thailand, Australia dan Brazil.
“Tingginya beban yang ditanggung oleh investor ini mengakibatkan capital outflow yang signifikan atau dikhawatirkan, transaksi tidak lagi terjadi di Indonesia tapi di global. Masyarakat pun juga tidak mendapatkan perlindungan hukum seperti halnya mereka bertransaksi di exchange lokal," terang Robby.
Robby beranggapan, pelaku usaha kripto yang tergabung dalam Aspakrindo-ABI perlu dan siap dilibatkan untuk melanjutkan diskusi lebih lanjut mengenai pajak dan keberadaan exchange ilegal.
“Persoalan ini menyangkut banyak pihak, jadi dibutuhkan kolaborasi antar pemangku kepentingan, sehingga tercipta industri yang sehat dan menguntungkan seluruh pelaku di ekosistem aset kripto Indonesia,” tambah Robby.
Meskipun begitu, masih terdapat peluang jangka pendek yang membuat pasar kripto terbilang optimis, yakni dengan berkembangnya Grayscale GBTC dan terdaftarnya Blackrock iShare yang didepositori NASDAQ. Hasilnya, ini dapat memperbesar optimisme terhadap ETF atau dana yang diperdagangkan di Bitcoin.
Baca Juga: Mungkinkah Bitcoin menjadi Alat Pembayaran di Indonesia? Ini Tanggapan Reku
“Meskipun keputusan terhadap pengajuan ETF tersebut masih belum dapat dipastikan, optimisme yang sempat berkembang imbas kemenangan Grayscale GBTC dan terdaftarnya Blackrock iShare di depositori NASDAQ, memperbesar optimisme terhadap ETF yang dapat berpotensi menyebabkan pasar kripto terapresiasi,” ujar analis kripto Reku, Fahmi.
Senada dengan Fahmi, Robby pun optimis dan menjelaskan bahwa pemangku kepentingan perlu memperkuat aksi untuk mencegah investor kripto dalam negeri bertransaksi di platform exchange luar negeri.
“… terkait perpajakan ini bisa segera didiskusikan bersama antar pelaku industri, asosiasi, dan regulator guna saling berbagi usulan dan mencari solusi yang lebih baik dalam penerapan regulasi yang ideal di ekosistem kripto,” tutup Robby.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Nadia Khadijah Putri
Editor: Amry Nur Hidayat
Advertisement