Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Polemik Pasal Tembakau RPP Kesehatan, Kemenparekraf Minta Industri Kreatif dan Tenaga Kerja Dilindungi

Polemik Pasal Tembakau RPP Kesehatan, Kemenparekraf Minta Industri Kreatif dan Tenaga Kerja Dilindungi Kredit Foto: Antara/Siswowidodo
Warta Ekonomi, Jakarta -

Potensi dampak negatif dari pasal-pasal tembakau yang terdapat pada Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Kesehatan mendapatkan sorotan serius dari berbagai pihak.

Salah satu Kementerian yang turut khawatir atas dampak dari implementasi pasal-pasal tembakau yang banyak berisi larangan di berbagai media adalah Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf). Hal ini lantaran banyaknya larangan bagi produk tembakau di RPP Kesehatan tersebut berpotensi menciptakan gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) masal bagi sejumlah industri kreatif.

Direktur Industri Kreatif Kemenparekraf, Syaifullah Agam, mengatakan industri kreatif akan sangat berdampak terhadap sejumlah larangan bagi produk tembakau dalam RPP Kesehatan.

“Jadi, jelas (akan ada) ancaman PHK kepada pelaku ekonomi kreatif di subsektor ini bila RPP (Kesehatan) ini disahkan. Karena industri kreatif, seperti konser musik dan event, menjadi salah satu sektor yang akan sangat dirugikan (jika pasal-pasal tembakau di RPP Kesehatan disahkan),” ungkanya kepada wartawan.

Terdapat sedikitnya enam subsektor industri yang terkait dengan industri hasil tembakau, seperti subsektor desain, film/video, musik, penerbitan, periklanan, dan penyiaran (TV dan radio). Secara kolektif, subsektor industri tersebut mempekerjakan lebih dari 725.000 tenaga kerja.

Baca Juga: Jaga Perekonomian Kondusif, Kemenperin dan Asosiasi Pengusaha Minta RPP Kesehatan Tidak Memaksakan Pasal Tembakau

Syaifullah juga menegaskan bahwa industri hasil tembakau memiliki multiplier effect yang sangat besar karena menjangkau sektor lainnya, misalnya sektor perhotelan, makanan dan minuman, transportasi, pedagang asongan, hingga baliho.

“Jika (industri tembakau terganggu), maka industri kreatif terganggu. Dampak negatifnya akan merembet ke banyak sektor lainnya yang saling berkaitan dan menopang pertumbuhan satu sama lain,” terangnya.

Perlu disadari, lanjut Syaifullah, industri hasil tembakau itu memberikan kontribusi sekitar 20% dari total pendapatan media digital di Indonesia dengan nilai mencapai ratusan miliar Rupiah per tahun. Maka, wajar jika selama ini, iklan produk tembakau adalah kontributor terbesar di media digital maupun di media luar ruangan di Indonesia. 

“Kemenparekraf berharap ada solusi dari rencana pengesahan (pasal-pasal tembakau) RPP Kesehatan, sehingga tidak ada salah satu sektor yang dirugikan dan masyarakat bisa punya dampak baik dengan lahirnya RPP Kesehatan ini,” harap Syaifullah.

Dari sisi industri terdampak, Wakil Ketua Dewan Periklanan Indonesia (DPI), Janoe Arijanto, mengungkap bahwa berbagai pelarangan di pasal-pasal tembakau dalam RPP Kesehatan memberatkan industri kreatif dan periklanan. 

Hal ini menurutnya didasarkan beberapa hal. Pertama, adanya larangan beriklan hampir 100% di platform online. Padahal, platform media digital dikatakannya bisa efektif untuk kebutuhan personalisasi, memilih segmen, serta memilih siapa konsumen siapa yang dituju.

"Jadi kalau mau ke (usia) 18 ke atas atau di daerah tertentu, atau bahkan di jam tertentu itu bisa (dipersonalisasi), tapi malah dilarang," ujarnya.

Baca Juga: Kemnaker Tegas Minta Pasal Tembakau Dihapus dari RPP Kesehatan Demi Lindungi Jutaan Tenaga Kerja

Kedua, RPP Kesehatan tersebut juga membuat produk olahan tembakau tidak dapat menempatkan iklan di berbagai event, seperti musik, budaya dan sebagainya. Selanjutnya, iklan produk tembakau juga mengalami pengurangan jam dalam iklan. Iklan yang sebelumnya dapat dimulai pukul 21.30 WIB, juga akan mundur menjadi 23.30 WIB hingga 3.00 WIB. "Itu jam hantu, gak ada yang nonton," tambah Janoe.

Hal ini tentunya juga akan menjadi kerugian secara finansial untuk pengusaha dan karyawan yang bekerja di industri kreatif yang mencapai 800 ribu orang. Dia mencatat, pemasukan media paling utama atas iklan produk tembakau bisa mencapai Rp9 triliun. 

Janoe juga mengungkapkan bahwa para pencetus kebijakan tersebut belum pernah melibatkan DPI untuk berdiskusi. Padahal, pihaknya sudah sering mengajak untuk berdiskusi, namun selalu menghadapi tantangan untuk bertemu.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Editor: Amry Nur Hidayat

Advertisement

Bagikan Artikel: