Menyuarakan Partisipasi dan Keterwakilan Perempuan dalam Parlemen
Oleh: Lilik Husna Mufidah, Aktivis Muda Feminis Monash Institut Semarang dan GPII
Partisipasi politik perempuan dalam parlemen merupakan elemen krusial dalam mewujudkan representasi yang inklusif dan seimbang dalam kebijakan publik. Meskipun peran perempuan dalam politik semakin terlihat, masih ada tantangan signifikan terkait tingkat partisipasi mereka dalam lembaga legislatif seperti parlemen.
Dalam konteks ini, penting untuk memahami faktor-faktor yang memengaruhi tingkat partisipasi politik perempuan dalam parlemen serta upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkannya.
Baca Juga: Kaesang, PSI, dan Transformasi Infrastruktur Pendidikan di Daerah Tertinggal: Langkah-Langkah Kritis
Faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi politik perempuan dalam parlemen cukup beragam, yang meliputi norma sosial, struktur politik, hambatan institusional, dan stereotip gender. Mona Lena Krook dalam Quotas for Women in Politics: Gender and Candidate Selection Reform Worldwide menekankan bahwa norma sosial yang menempatkan perempuan dalam peran domestik dan mendiskriminasi mereka dalam lingkungan politik menjadi hambatan utama. Struktur politik yang terkadang lebih menguntungkan laki-laki dalam proses seleksi kandidat juga membatasi akses perempuan ke parlemen.
Selain itu, teori feminis dan perspektif sosial lainnya menyoroti bahwa hambatan institusional, seperti kurangnya dukungan finansial, kurangnya jaringan politik yang kuat, dan minimnya akses terhadap sumber daya politik, dapat menghambat partisipasi politik perempuan dalam parlemen. Stereotip gender juga berperan dalam menentukan persepsi masyarakat terhadap kapabilitas perempuan dalam politik, yang sering kali menghambat aspirasi politik mereka. Teori feminis menyuarakan perlunya perubahan dalam struktur politik dan budaya yang merugikan perempuan untuk mencapai kesetaraan dalam partisipasi politik.
Meskipun tantangan tersebut ada, upaya untuk meningkatkan partisipasi politik perempuan dalam parlemen telah menjadi fokus utama di banyak negara. Kuota gender, sebagai salah satu strategi yang diadopsi oleh banyak pemerintah, telah terbukti efektif dalam meningkatkan jumlah perempuan yang terpilih sebagai anggota parlemen. Kuota dapat berupa sistem resmi yang mengamanatkan sejumlah kursi parlemen untuk perempuan atau partai politik menerapkan aturan internal untuk memastikan keterwakilan gender yang seimbang.
Selain kuota, pendidikan politik dan advokasi juga memainkan peran penting dalam meningkatkan partisipasi politik perempuan dalam parlemen. Pendidikan politik yang memperkenalkan perempuan pada proses politik, memberikan keterampilan kepemimpinan, dan membangun rasa percaya diri dapat meningkatkan minat dan keterlibatan mereka dalam dunia politik. Advokasi yang kuat untuk kesetaraan gender dalam politik juga diperlukan untuk mengubah persepsi masyarakat tentang peran perempuan dalam parlemen.
Partisipasi politik perempuan dalam parlemen tidak hanya penting untuk mencapai kesetaraan gender, tetapi juga untuk mewujudkan kebijakan yang lebih inklusif dan representatif. Dalam banyak kasus, perempuan di parlemen telah membawa isu-isu yang lebih sensitif secara gender ke dalam agenda politik, termasuk kesehatan reproduksi, kesetaraan gender, kekerasan terhadap perempuan, dan perlindungan hak-hak perempuan.
Penelitian Pippa Norris dalam Women’s Representation and Legislative Behavior menunjukkan bahwa keberagaman gender dalam lembaga legislatif dapat mempengaruhi jenis kebijakan yang dipromosikan dan diadopsi oleh parlemen.
Partisipasi politik perempuan dalam parlemen sebagai elemen krusial dalam mencapai representasi yang inklusif dan mewujudkan kebijakan yang memperhatikan kebutuhan seluruh populasi. Meskipun masih ada hambatan dan tantangan yang perlu diatasi, langkah-langkah seperti kuota gender, pendidikan politik, dan advokasi untuk kesetaraan gender dapat berperan dalam meningkatkan partisipasi politik perempuan dalam parlemen. Hal ini tidak hanya penting untuk perempuan secara individual tetapi juga untuk masyarakat secara keseluruhan dalam menciptakan sistem politik yang lebih representatif, inklusif, dan adil.
“Srikandi politik” merupakan istilah yang biasa digunakan untuk merujuk kepada perempuan yang aktif dan berpengaruh dalam dunia politik. Dalam konteks PSI atau partai politik lainnya, kehadiran perempuan seperti Grace Natalie, Cheryl Tanzil dan lainnya yang aktif dan duduk pada posisi penting dalam struktur partai, pengambilan keputusan, serta upaya untuk meningkatkan kesetaraan gender adalah hal yang sangat penting.
Hal ini mencerminkan inklusivitas Partai Solidaritas Indonesia terhadap kesetaraan gender dengan memberikan ruang yang setara dan kesempatan yang sama bagi perempuan untuk terlibat dalam berbagai level, dari tingkat lokal hingga nasional. Hal ini juga melibatkan kebijakan partai yang mendukung keterlibatan perempuan dalam politik, seperti kuota pencalonan perempuan, dukungan untuk pendidikan politik perempuan, serta lingkungan yang mendukung dan mendorong partisipasi perempuan.
Kesetaraan gender bukan hanya tentang keterlibatan perempuan di tingkat partai, tetapi juga tentang peningkatan representasi mereka dalam jabatan-jabatan publik dan pengambilan keputusan strategis. Ini membutuhkan komitmen yang kuat dari seluruh spektrum politik untuk mendorong kesetaraan gender di semua tingkatan politik.
Kesetaraan gender dalam politik juga bisa diperjuangkan melalui peran tokoh-tokoh seperti Kaesang sebagai ketua umum partai dalam membantu menciptakan kesadaran dan mendukung langkah-langkah konkret dalam mendorong inklusivitas gender dalam partai politik. Meskipun tidak memiliki informasi spesifik, kontribusi tokoh-tokoh penting dalam partai politik dapat memainkan peran penting dalam menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan mendukung partisipasi perempuan dalam politik.
Baca Juga: Digital Lebih Berwarna, Prabowo-Gibran Bidik Jutaan Suara Anak Muda!
Bagi partai politik seperti PSI, mendorong inklusivitas gender bisa menjadi salah satu tujuan strategis untuk mencerminkan keragaman masyarakat. Hal ini bisa dilakukan melalui perumusan kebijakan partai yang inklusif, perekrutan, dan pengembangan kader perempuan, serta pembukaan akses bagi perempuan dalam berbagai level kepemimpinan dan pengambilan keputusan di partai.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Aldi Ginastiar
Tag Terkait:
Advertisement