Menu
News
EkBis
New Economy
Kabar Finansial
Sport & Lifestyle
Government
Video
Indeks
About Us
Social Media

Pakar: Banyak Content Creator Tak Sadar Jadi 'Pengusaha Berita Palsu'

Pakar: Banyak Content Creator Tak Sadar Jadi 'Pengusaha Berita Palsu' Ilustrasi: Wafiyyah Amalyris K
Warta Ekonomi, Jakarta -

Pembuat konten alias Content Creator disebut kerap kali tak sadar sedang melakukan aktivitas penyebaran berita palsu di dunia digital.

Hal ini disampaikan co-director Data & Democracy Research Hub, Monash University Indonesia Ika Idris dalam acara diskusi buku “Misguided Democracy in Malaysia and Indonesia: Digital Propaganda in Southeast Asia”, yang berlangsung Jumat (19/01/24) di Jakarta.

Menurut Ika, strategi propaganda di era digital tidak lagi menekankan pada pendekatan top-down yang tepusat dari pembuat propaganda, namun telah berfokus untuk menggerakkan partisipasi audiens atau netizen.

“Akibat strategi ini banyak dari pembuat konten yang tidak sengaja menjadi fake news entrepreneur (pengusaha berita palsu) atau menjadi bagian dari ekosistem propaganda digital,” ujar Ika.

Startegi propaganda partisipatif (participatory propaganda) ini misalnya, terjadi saat pemilu presiden Amerika Serikat 2016 silam. Di mana banyak organisasi media, partisan media, ataupun konten creator menyebarkan pesan dengan judul click bait, dan meneguhkan polarisasi politik.

Baca Juga: Publik Puas dengan Kinerja Jokowi, Kata Lembaga Survei karena Banyak Bagi-bagi Bansos

Di Indonesia, kata Ika, strategi ini jelas terlihat pada propaganda invasi Rusia ke Ukraina. Menurutnya, banyak jaringan penyebar propaganda Rusia di media sosial yang menyebarkan materi-materi secara massif, cepat, berulang, dan disampaikan melalui berbagai platform. Fitur platform media sosial yang memungkinkan audiens dan kreator untuk berinteraksi dan bermain-main dengan konten—misalnya melalui meme, sticker atau stich--membuat audiens tidak selalu sadar dengan disinformasi yang disampaikan.

Lanjut Ika, di masa kampanye pemilu tahun ini, para politisi juga berupaya keras agar masyarakat terlibat aktif menjadi agen-agen propaganda politik mereka. Strategi propaganda di era digital, menekankan tidak lagi pada hanya strategi pesan.

“Pada kasus penyebaran disinformasi invasi Rusia ke Ukraina, banyak konten kreator yang sebenarnya tidak sadar mereka turut menyebarkan propaganda. Mereka awalnya mengangkat isu itu karena ternyata engagement-nya tinggi. Akhirnya keterusan membuat konten, dan akhirnya terlibat aktif dalam ekosistem propaganda digital,” jelas Ika.

Baca Juga: Elektabilitas Anies Baswedan-Cak Imin Terus Menguat, Prabowo-Gibran bin Jokowi Mohon Siap-siap!

Dalam kesempatan yang sama, peneliti departemen politik CSIS Noory Okthariza, mengatakan bahwa propaganda digital di Asia Tenggara masih belum banyak yang membahas kesamaan dan perbedaanya. Padahal, Indonesia dan Malaysia sama-sama adalah negara muslim terbesar di dunia. Ada narasi-narasi yang sama, seperti misalnya pada isu geopolitik Palestina dan Israel, China, dan Halal.

“Di tahun politik ini sebenarnya menarik untuk dicermati bagaimana efek dari propaganda ini pada kelompok gen-z yang sebenarnya lebih banyak tersebar di daerah dan kelompok Pendidikan menengah ke bawah,” ujar Oktha.

Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.

Penulis: Bayu Muhardianto
Editor: Bayu Muhardianto

Tag Terkait:

Advertisement

Bagikan Artikel: