Kementerian Perindustrian menekankan pentingnya kepastian berlanjutnya program Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) bagi peningkatan daya saing industri dan masuknya investasi, serta pertumbuhan perekonomian nasional.
Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika Kementerian Perindustrian (Dirjen ILMATE Kemenperin), Taufiek Bawazier mengatakan, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita justru berharap rapat teknis segera diadakan untuk mendapat kepastian perpanjangan HGBT industri dari Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral dan Menteri Keuangan.
Taufik menyebut, rapat yang diagendakan pada Jumat (22/3/2024) itu semula dijadwalkan dimulai pukul 14.30. “Bapak Menperin siap hadir dan Kamis malam sempat diberitahukan dimajukan menjadi jam 13.30. Beliau juga siap hadir,” ujar Taufiek dalam keterangan tertulis yang diterima, Senin (25/3/2024).
Namun, tiba-tiba pada Jumat pagi, secara sepihak Kementerian ESDM mengubah jadwal rapat menjadi Pukul 10.00. Di waktu yang sama, Menperin sudah mempunyai agenda melantik 11 pejabat di Kemenperin, sehingga dengan berat hati menugaskan Pejabat Level Eselon 1 untuk menghadiri rapat yang diubah dadakan jadwalnya.
“Kemudian saya meluncur ke lokasi kantor Kementerian ESDM di Jalan Medan Merdeka Selatan. Tibanya di sana, rapat ditiadakan dengan alasan Menperin berhalangan hadir,” ujarnya.
Lanjutnya, dalam pertemuan dengan Menkeu dan Menteri ESDM, Taufiek menyampaikan pesan Menperin Agus mengenai hitung-hitungan teknokratis benefit HGBT dan multiplier effect untuk tujuh sektor industri.
"Kami juga meminta agar program HGBT sesuai Perpres Presiden Jokowi dilanjutkan bahkan diperluas dengan prinsip no one left behind, bukan hanya untuk tujuh sektor industri yang saat ini menerima fasilitas,” ungkapnya.
Baca Juga: Dukung Transisi Energi, PLN EPI Siap Berkolaborasi dengan Mitra Gas Global
Lanjutnya, dalam pertemuan tersebut, dibicarakan mengenai total nilai HGBT yang dikeluarkan termasuk untuk listrik dari 2021 hingga 2023 sebesar Rp51,04 triliun.
Sedangkan nilai tambahnya bagi perekonomian nasional sebesar Rp157,20 triliun, atau meningkat hampir tiga kali lipat.
"Artinya, manfaat dan multiplier effect-nya sangat besar bagi ekspor, pendapatan pajak, pengurangan subsidi pupuk, dan investasi,” ucapnya.
Taufik mengatakan, Dari tujuh sektor industri penerima HGBT, industri pupuk, petrokimia, baja, keramik, kaca, oleokimia, serta sarung tangan karet berhasil meningkatkan nilai tambah ekspor pada tahun 2021-2023 sebesar Rp84,98 triliun, dengan nilai ekspor terbesar diraih oleh sektor oleokimia sebesar Rp48,49 triliun.
Bukan hanya ekspor, peningkatan pajak diperoleh senilai Rp27,81 triliun. Multiplier effect dari pemberian HGBT juga mendorong investasi baru sebesar Rp31,06 triliun, serta penurunan subsidi pupuk sebesar Rp13,33 triliun akibat penurunan Harga Pokok Penjualan (HPP) produksi.
Sehingga, logikanya, jika HGBT ditiadakan atau tidak diperpanjang, maka terdapat opportunity lost bagi industri yang berujung perekonomian akan merosot dan menurun tiga kali lipat.
Menurut Taufik, Hal ini juga menyebabkan produk kita menjadi tidak kompetitif, yang dapat berakibat pada penutupan pabrik serta PHK, untuk itu ia menilai bahwa industri butuh gas murah baik sebagai energi dan feedstock.
"Pelaku industri juga memperoleh gas dengan membeli, bukan gratis. Dari perspektif ini, jelas pemerintah harus hadir,” ujar Taufik.
Dari portfolio penerima HGBT, di tahun 2023, industri penerima berjumlah 265 perusahaan dan kelistrikan sebesar 56 perusahaan dengan total penerima sebesar 321 perusahaan. Alokasi gas industri hanya 1222,03 BBTUD dan kelistrikan sebesar 1231,22 BBTUD.
Baca Juga: Migas dan Dekarbonisasi, Strategi Pertamina Wujudkan Indonesia Mandiri Energi
Artinya, masih lebih banyak sektor kelistrikan penerima alokasi HGBT dibandingkan industri.
“Itupun hanya diberikan 85,31 persen dan banyak persoalan di lapangan, termasuk biaya surcharge,” jelasnya.
Lebih lanjut, oa menyebut bahwa meski terdapat berbagai kekurangan dari pelaksanaan HGBT, nilai positifnya masih lebih banyak dibanding bila program ini tidak dilanjutkan. Kepastian industri mendapatkan gas murah menjadi prioritas.
Sehingga bila memang Kementerian ESDM, Kementerian Keuangan, termasuk SKK Migas menyatakan tidak sanggup meneruskan program HGBT, Kemenperin meminta opsi atau plan B untuk dibuka keran impor gas dari negara-negara Teluk dengan harga yang bisa menyentuh USD3 per mmbtu untuk kebutuhan kawasan industri dengan kriteria untuk industri berorientasi ekspor dan subtitusi impor.
"Ini tentunya bisa mencapai enam kali lipat nilai tambah yang didapat dari HGBT gas domestik, sehingga dapat mendukung industri nasional untuk menjadi tangguh dan kuat, serta berdaya saing di tingkat Asean dan global, serta meningkatkan kontribusi sektor industri bagi pertumbuhan perekonomian nasional tetap tumbuh dari kontribusi sektor industri,” ungkapnha.
Menurutnya, sangat disayangkan jika persoalan substansi teknokratis direduksi oleh kehadiran pejabat dalam menentukan perpanjangan program HGBT.
“Bahwa sesungguhnya terminologi dilanjutkan atau tidak dilanjutkannya program HGBT ini sangat tendensius, karena sesungguhnya selama Perpres belum dicabut, maka Program HGBT ini tetap harus jalan, dan semua pembantu Presiden wajib untuk mengikuti Peraturan Presiden ini,” jelasnya.
“Terkait hal ini, Kemenperin selalu terbuka untuk berdiskusi secara komprehensif, mengingat HGBT bukan cost bagi pemerintah, tetapi investasi dalam ekonomi, karena setiap pengeluaran Rp1 untuk diskon gas, pemerintah juga mendapat Rp3 dengan hitungan bukan di awal, tetapi satu tahun berjalan atau di akhir tahun takwim,” pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Djati Waluyo
Editor: Amry Nur Hidayat
Advertisement