Kredit Foto: Antara/Syifa Yulinnas
Menurut Putu, ada dua kebijakan utama dalam mempercepat pertumbuhan populasi industri hilir kelapa sawit. Yakni kebijakan fiscal tariff bea keluar progresif sesuai rantai nilai industri, lalu insentif perpajakan bagi investasi baru atau perluasan sektor industri oleofood, oleochemical, dan biofuel.
“Kedua kebijakan ini sangat efektif dalam mendorong hilirisasi industri kelapa sawit,” kata Putu.
Baca Juga: Senyum Industri Sawit, Harga CPO Beranjak Naik Bawa Dampak Positif
Dalam sejarahnya, sambung Putu, hilirisasi industri kelapa sawit dinilai konsisten dijalankan sejak tahun 2007 lalu. Pada saat itu, ekspor minyak sawit mentah atau CPO mencapai 60% dari total ekspor kelapa sawit nasional. Padahal, CPO digunakan sebagai bahan baku industri pangan, non pangan, serta biofuel di negara-negara tujuan ekspor sehingga nilai tambahnya kurang dinikmati oleh sektor domestik.
“Melalui kebijakan bea keluar yang berorientasi pro-industri, pertumbuhan kapasitas produksi industri minyak goreng, oleofood, oleokimia, dan biodiesel meningkat secara signifikan,” tutur Putu.
Kemudian pada tahun 2010, kapasitas refinery atau pabrik pengolahan CPO hanya sekitar 25 juta ton. Akan tetapi, kapasitas refinery meningkat tiga kali lipat menjadi 75 juta ton melalui kebijakan hilirisasi pada tahun 2022 lalu.
Baca Juga: BPDPKS: Kita Support Semua Pihak di Industri Sawit
“Sementara itu, kapasitas terpasang pabrik biodiesel saat ini telah mencapai 17,5 juta ton per tahun, kemudian kapasitas terpasang industri oleofood mencapai 2,7 juta ton per tahun, dan kapasitas terpasang industri oleokimia mencapai 11,6 juta ton per tahun. Pencapaian gemilang ini merupakan hasil konsistensi kebijakan hilirisasi industri kelapa sawit dalam periode yang panjang,” jelasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Penulis: Uswah Hasanah
Editor: Aldi Ginastiar
Tag Terkait:
Advertisement