Menteri Perindustrian, Agus Gumiwang, menyebut relaksasi impor sebagai penyebab turunnya Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur Indonesia pada Juli 2024 ke level 49,3. Agus telah memprediksi hal ini sejak Mei 2024, ketika Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 8 Tahun 2024 tentang perubahan ketiga atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 36 Tahun 2023 tentang kebijakan dan pengaturan impor diterbitkan.
Tren penurunan PMI manufaktur terjadi secara beruntun selama tiga bulan sejak Permendag Nomor 8 Tahun 2024 berlaku pada Mei 2024. Pada April 2024, PMI manufaktur mencapai 52,9, kemudian turun menjadi 52,1 pada Mei 2024, 50,7 pada Juni 2024, dan 49,3 pada Juli 2024.
"Kami tidak kaget dan logis saja melihat hasil survei ini karena semua sudah terprediksi ketika kebijakan relaksasi impor dikeluarkan," kata Agus dalam keterangan tertulis pada Kamis, 1 Agustus 2024.
Agus menjelaskan bahwa PMI manufaktur Indonesia dipengaruhi oleh penurunan output dan pesanan baru yang terjadi bersamaan. Kondisi ini diperparah oleh penurunan permintaan pasar yang membuat penjualan semakin anjlok. Ia mendorong sinergi kebijakan pemerintah untuk mendukung kinerja industri manufaktur dengan kebijakan yang pro-industri agar PMI manufaktur kembali ekspansif.
Selain itu, kondisi sektor tekstil di Indonesia saat ini berada di ambang kehancuran. Banyak perusahaan tekstil tutup, dan ribuan karyawan menjadi korban pemutusan hubungan kerja (PHK). Berdasarkan data Asosiasi Pertekstilan Indonesia, sejak Januari hingga Mei 2024, sebanyak 20 hingga 30 pabrik telah gulung tikar, mengakibatkan 10.800 karyawan kehilangan pekerjaan. Data dari Kementerian Perindustrian menunjukkan bahwa hingga Juni 2024, enam pabrik besar telah tutup, yakni PT Dupantex, PT Kusumahadi Santosa, PT Kusuma Putra Santosa, PT Pamor Spinning Mills, PT Sai Aparel di Jawa Tengah, serta PT Alenatex di Jawa Barat, dengan total 11.000 buruh terkena PHK.
Tekanan di industri tekstil ini berpotensi menimbulkan efek domino. Menurut data Badan Pusat Statistik, industri tekstil berkontribusi sekitar 5,84% terhadap produk domestik bruto sektor manufaktur dan menyerap 3,98 juta tenaga kerja. Kondisi ini dapat memperburuk situasi ekonomi dan sosial di Indonesia.
Baca Juga: 'Ribut' Dua Menteri Disebut Jadi Penyebab Badai PHK Tekstil
Pasar tekstil dalam negeri kembali dibanjiri oleh produk-produk impor, terutama dari Cina, India, dan Vietnam, yang dijual dengan harga lebih murah dibanding produk dalam negeri. Kondisi ini menimbulkan persaingan yang tidak sehat bagi industri tekstil lokal. Penyebab utama dari meningkatnya produk impor ini adalah kebijakan yang berbeda antara dua kementerian terkait impor tekstil dan produk tekstil (TPT), yakni Kementerian Perindustrian (Kemenperin) dan Kementerian Perdagangan (Kemendag).
Asosiasi Pertekstilan Indonesia mengungkapkan bahwa kebijakan pembatasan impor kerap berubah-ubah. Dalam lima bulan terakhir, pemerintah telah lima kali merevisi aturan pembatasan impor. Aturan terbaru adalah Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 8 Tahun 2024, yang menghapuskan syarat pertimbangan teknis dari Kemenperin dalam proses importasi produk tekstil. Keputusan ini dinilai memberikan kewenangan lebih besar kepada Kemendag dan mengurangi kemampuan Kemenperin dalam mengontrol arus masuk barang-barang impor.
Perselisihan antara Menteri Perindustrian Agus Gumiwang dan Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan menjadi sorotan. Agus mengusulkan agar kebijakan pengetatan impor dikembalikan ke aturan lama, yakni Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 6 Tahun 2022. Namun, usulan ini ditolak oleh Zulkifli, yang menegaskan bahwa aturan impor saat ini sudah memenuhi permintaan dan rekomendasi dari berbagai pihak, termasuk pelaku industri. Menurut Zulkifli, penghapusan persyaratan teknis dari Kemenperin bertujuan untuk mengatasi tumpukan barang di kawasan kepabeanan Indonesia, yang sempat mencapai 26.000 kontainer.
Naiknya impor tekstil ke Indonesia menimbulkan kekhawatiran bagi pengusaha tekstil, yang tidak bisa banyak bergantung pada pasar ekspor akibat melemahnya permintaan global. Kondisi ini semakin diperparah dengan ketidakmampuan produk tekstil lokal bersaing di pasar domestik. Perselisihan antara Kemenperin dan Kemendag memperburuk situasi, dengan pelaku usaha dan buruh merasa resah.
Asosiasi Pertekstilan Indonesia menilai bahwa silang pendapat antara dua menteri menunjukkan kompetisi antar kementerian, yang seharusnya ditengahi oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto. Para buruh juga menyampaikan keresahan mereka melalui aksi demonstrasi pada 3 Juli 2024, menuntut pencabutan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 8 Tahun 2024.
Baca Juga: Menperin Blak-blakan, Ini Biang Keladi Tertekannya Industri Manufaktur Lokal
Pemerintah tengah menyiapkan langkah-langkah untuk mengatasi gempuran impor produk tekstil, salah satunya adalah pengenaan tarif bea masuk yang lebih tinggi melalui Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) dan Bea Masuk Anti Dumping. Aturan ini masih dalam pembahasan dan diharapkan dapat membantu industri tekstil lokal menghadapi persaingan dari produk impor yang lebih murah.
Namun, penyelesaian masalah ini membutuhkan kerja sama dan kekompakan antara Kemenperin dan Kemendag. Perang dingin antara kedua kementerian ini harus segera diakhiri untuk menghindari korban lebih lanjut di kalangan rakyat dan pekerja. Hanya dengan kebijakan yang tepat dan sinergi antara kementerian terkait, industri tekstil Indonesia dapat bangkit kembali dan memberikan kontribusi positif bagi perekonomian nasional.
Agus mengakhiri pernyataannya dengan menekankan pentingnya kebijakan yang mendukung sektor industri untuk mengembalikan PMI manufaktur ke level ekspansif. "Posisi sektor manufaktur sudah sangat sulit karena kondisi global, termasuk logistik, sangat tidak menguntungkan bagi sektor ini. Oleh sebab itu, para menteri jangan mengeluarkan kebijakan yang justru semakin membunuh industri," ujarnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait:
Advertisement