Pekerja Harus Siap, Badai PHK Masih Akan Terus Terjadi Sampai Akhir Tahun Ini
Fenomena pemutusan hubungan kerja (PHK) terus melanda Indonesia sepanjang Januari hingga Juni tahun ini. Data dari Kementerian Ketenagakerjaan menunjukkan lebih dari 111.000 pekerja terkena PHK, hanya turun tipis dibandingkan periode yang sama pada tahun 2023. Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Indonesia memperkirakan bahwa tren PHK massal ini masih akan berlangsung hingga akhir tahun.
Kondisi ini sangat ironis mengingat tenaga kerja adalah salah satu faktor penggerak ekonomi selain sumber daya alam dan teknologi. Sebagai negara dengan populasi besar dan yang diharapkan mendapat bonus demografi pada 2030, lonjakan jumlah pengangguran tidak bisa dianggap sepele. Pemerintah perlu segera mencari solusi untuk menghindari dampak negatif yang bisa mengguncang stabilitas politik dan ekonomi.
Pemerintah tidak boleh menutup mata terhadap situasi ini. Memang, perekonomian global saat ini sedang lesu, berdampak pada penurunan permintaan pasar. Namun, alasan ini tidak bisa sepenuhnya dijadikan kambing hitam.
Menurut Aspek Indonesia, salah satu penyebab utama PHK adalah Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 8 Tahun 2024 yang merelaksasi impor barang-barang murah dari luar negeri, termasuk tekstil dan alas kaki. Kebijakan ini memukul industri dalam negeri yang tidak mampu bersaing, sehingga banyak perusahaan lokal terpaksa gulung tikar.
Kesalahan ini lebih disebabkan oleh kebijakan pemerintah sendiri, bukan semata-mata oleh kondisi geopolitik atau geoekonomi global. Kebijakan seperti ini perlu ditinjau kembali karena tidak berpihak pada pengusaha dalam negeri. Kementerian terkait seharusnya melibatkan para pemangku kepentingan sebelum membuat regulasi. Sayangnya, proses konsultasi ini sering kali absen.
Baca Juga: Bahlil Sebut Turunnya Produktivitas Jadi Penyebab PHK: Buruh Harus Mengerti
Dalam menghadapi perlambatan ekonomi global, pemerintah harus pintar dan kreatif dalam menjaga agar perekonomian domestik tetap sehat. Salah satu caranya adalah dengan meninjau kembali regulasi yang merugikan pengusaha lokal. Jika perlu, berikan insentif pajak dan berbagai kemudahan lainnya untuk mendorong industri dan menciptakan lapangan kerja. Sebaliknya, membuka keran impor selebar-lebarnya justru memperburuk situasi.
Pemerintah juga harus terbuka terhadap kritik dan tidak saling menyalahkan antar kementerian. Introspeksi dan koreksi kebijakan yang merugikan lebih penting daripada mempertahankan kesalahan. Misalnya, ketika berbagai lembaga ekonomi merilis data tentang semakin terimpitnya kelas menengah dan sebagian jatuh miskin, ada pejabat yang tidak percaya pada data tersebut. Sang pejabat mengklaim bahwa pekerja yang jatuh miskin sebenarnya beralih dari pekerjaan formal ke informal sejak pandemi COVID-19, sehingga tidak tercatat dalam statistik.
Pembelaan semacam ini hanya berakhir dalam debat kusir soal data tanpa solusi nyata. Korban PHK terus berjatuhan sementara tugas negara adalah menyediakan pekerjaan seluas-luasnya bagi rakyat, bukan defensif dan sibuk membela diri. Pemerintah harus fokus pada solusi konkrit untuk menciptakan lapangan kerja dan memperbaiki kebijakan yang merugikan agar perekonomian domestik dapat bangkit kembali.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait:
Advertisement