Pada tahun 2024, panggung politik Indonesia diwarnai dengan kekhawatiran mengenai semakin menguatnya fenomena kartelisasi dalam proses pemilihan kepala daerah (Pilkada). Fenomena ini, yang telah mulai terlihat sejak Pemilu 2024, kini mencapai puncaknya, mengancam esensi kontestasi yang seharusnya menjadi pilar demokrasi.
Prof. Saiful Mujani, pendiri lembaga survei SMRC, menyoroti bahwa praktik politik kartel ini mencerminkan tidak adanya persaingan yang sehat di antara partai-partai politik.
“Politik kartel bukan sekadar fenomena politik biasa, tetapi sebuah sistem di mana tidak ada persaingan antar partai; semuanya diatur. Ini sangat merugikan pemilih karena pilihan mereka menjadi sangat terbatas,” ujarnya dalam obrolan bersama Abraham Samad.
Ia menambahkan bahwa situasi ini mirip dengan konsep kartel dalam dunia bisnis, di mana produsen berkolusi untuk mengatur produk sehingga konsumen tidak memiliki pilihan lain.
Gejala kartelisasi ini semakin terlihat jelas dalam Pilkada 2024. Keputusan-keputusan politik yang diambil oleh elit partai sering kali tidak melalui proses yang demokratis, di mana tidak ada dinamika atau persaingan ide yang sehat. Setiap usulan atau ide langsung disetujui tanpa perdebatan atau pertimbangan lebih lanjut. Hal ini menunjukkan bahwa demokrasi sebagai mekanisme persaingan yang sehat antara elit politik telah lumpuh, dan kontestasi di tingkat elit menjadi sangat minim.
Meskipun pada Pilpres 2024 terdapat tiga kubu besar yang bersaing, persaingan ini dianggap tidak sehat dan tidak imbang. Salah satu pihak menggunakan sumber daya negara untuk kepentingan politiknya, menciptakan ketidakadilan yang semakin memperburuk kondisi politik. Prof. Saiful bahkan menyatakan bahwa jika Pemilu 2024 dianggap busuk, maka Pilkada kali ini lebih busuk lagi.
Gejala hilangnya kontestasi dalam Pilkada ini mengingatkan pada praktik politik kartel yang dipraktikkan oleh Orde Baru, di mana tidak ada persaingan yang sebenarnya dan seluruh proses politik dikendalikan oleh satu pihak. Reformasi seharusnya menghilangkan praktik-praktik semacam itu, namun kini gejala bahwa prinsip dasar demokrasi mulai terkikis kembali semakin nyata.
Baca Juga: Peluang PDIP Dukung Anies di Pilkada Berat, Ini Sebabnya
Salah satu contoh nyata dari ketidaklogisan dalam keputusan politik partai adalah kasus Ridwan Kamil. Awalnya, Ridwan Kamil yang sangat kuat di Jawa Barat dianggap sebagai tokoh yang paling layak untuk tetap memimpin provinsi tersebut. Namun, keputusan partai untuk memindahkannya ke Jakarta, di mana peluangnya untuk menang lebih kecil, menimbulkan pertanyaan besar. Langkah ini dianggap tidak logis dari sudut pandang politik Golkar dan menunjukkan bahwa partai tersebut kalah dalam pertempuran ini oleh Gerindra.
Selain itu, fenomena politik korporatis juga semakin mengemuka, di mana kelompok-kelompok kepentingan seperti organisasi buruh dan ormas keagamaan seperti NU dan Muhammadiyah ‘dibeli’ dengan berbagai insentif. Hal ini semakin menambah kekhawatiran bahwa politik Indonesia semakin jauh dari prinsip demokrasi yang sesungguhnya dan lebih mirip dengan sistem kartel yang mengedepankan kepentingan segelintir elit.
Sebagai penutup, Prof. Saiful menyatakan bahwa jika praktik politik kartel ini terus berlangsung, kualitas demokrasi di Indonesia akan semakin menurun. "Kita harus waspada dan kritis terhadap fenomena ini, karena politik kartel hanya menguntungkan segelintir elit dan merugikan rakyat banyak," pungkasnya.
Mau Berita Terbaru Lainnya dari Warta Ekonomi? Yuk Follow Kami di Google News dengan Klik Simbol Bintang.
Editor: Amry Nur Hidayat
Tag Terkait:
Advertisement